#22 Lanjutan Teras Tulisan: Lead Narasi
Lead Narasi (Bercerita)
Lead ini, yang digemari penulis feature dalam bentuk cerita nyata, menarik pembaca dan membenamkannya. Tekniknya adalah dengan menciptakan suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama. Bisa dengan cara membuat kekosongan yang lalu secara imajiner akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca mengidentifikasikan dirinya di tengah peristiwa.Hasilnya berupa teknik seperti misalnya, apakah pembaca merasa haus ketika seolah-olah menyaksikan seorang yang kehausan di tengah padang pasir? Atau apakah pembaca gemetar bila seakan-akan menyaksikan suatu bencana alam? Dan sebagainya.
Lead semacam ini sangat efektif untuk feature petualangan. Misalkan, seorang penulis melaporkan suasana di sudut sebuah rumah di Bosnia Herzegovina, yang sedang dilanda peperangan:
Kami makan anggur kematian dan anggur itu lezat. Berair, biru kehitaman, manis dan asam. Mereka menggantungkan setandan anggur masak di beranda belakang rumah milik muslim yang istrinya belum lama tewas oleh bom orang Serbia. Ini senja di Bosnia, langit sama biru tuanya dengan anggur-anggur itu.Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Jakarta: Tempo Publishing, 2017
Penulis rubrik kriminalitas sering memakai Lead bercerita dalam feature untuk mendeskripsikan peristiwa kejahatan:
Hari itu, ada lima mayat yang hangus terpanggang. Sesosok mayat laki-laki dewasa dan tiga anaknya berserakan di sana-sini dengan tubuh rusak bekas dibantai. Pemandangan itu ditemukan penduduk di puing sebuah gubuk yang hangus terbakar.Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Jakarta: Tempo Publishing, 2017
Lead feature lainnya tertulis begini:
Toha gelagapan. Ia seperti menghirup ruang hampa. Sebisanya ia mengisap corong udara di hidungnya. Tapi sia-sia. Tabung oksigen di punggungnya ternyata sudah kosong. Ia panik. Permukaan laut masih puluhan depa di atasnya.Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Jakarta: Tempo Publishing, 2017
Lead ini mempunyai kelebihan, karena sanggup menggaet lebih efektif pembaca dari pada Lead jenis lainnya. Begitu pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan atau menjadi tokoh ceritanya, ia pasti dengan sendirinya telah tersasar.
Berikut contoh kembali, Lead Narasi dari tulisan berjudul "Kekurangan Pangan, Makan Sampah di hadapan Proklamator", Tempo 12 Oktober 1998.
Pagi itu, Kamis lalu, lapangan Gedung Proklamasi, Jakarta, belum lagi kering. Hujan baru saja berhenti. Langit masih mendung. Di depan patung hitam Proklamasi Soekarno - Hatta, seorang lelaki tampak terseok-seok menjinjing dua kantong plastik besar berwarna hitam. Iapun berjongkok dan menumpahkan isinya. Keluarlah berbagai sampah, kertas tisu kekuningan, kotak plastik bekas, dan makanan sisa.Beberapa detik kemudian, enam lelaki lain datang menghampiri. Cirinya sama. Baju lusuh dengan beberapa lubang koyak dan besi kait di tangan. Mereka pemulung Ibukota. Salah seorang, namanya Ahmad, 30 tahun, mengais-ngais tumpukan sampah itu. Tiba-tiba tangannya menemukan sepotong roti sisa. Mukanya langsung berseri-seri. Roti di tangan kiri itu ia amati bolak - balik. Dengan tangan kanan, ia kibaskan pasir dan kotoran yang menempel bercampur cokelat meses. Dan setelah ia cium-cium, langsung dilahapnya roti itu dengan bernafsu.Setelah itu, matanya melihat kerupuk sisa sebesar bungkus rokok, menyembul di antara tisu bekas. Kerupuk sisa itupun digigitnya, tapi ia langsung lempar. Pasti karena sudah melempem. Perhatiannya sekarang beralih pada kotak plastik berisi sisa mi goreng yang lalu diciumnya."Sudah basi?" tanya teman di sampingnya.Sambil menggeleng Ahmad menyodorkannya.Si teman dengan penuh suka cita langsung mengempit kotak itu erat-erat.Ini bukan adegan film. Inilah kenyataan di balik angka-angka kemiskinan yang jumlahnya terus membengkak. Menurut Biro Pusat Statitik (BPS), 80 juta warga mengalami rawan pangan dan 15 juta dalam kondisi gawat darurat.Sumber: Jurnalisme Sastra. Septiawan Santana Kurnia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Penulis feature di atas, dengan menyentuh, menceritakan kelaparan yang menghantui kehidupan rakyat kecil dan dengan jeli mengetengahkan kisah itu di hadapan proklamator yang kini hanya bisa "mematung (memang patung) menatap" penderitaan rakyat yang mereka berdua perjuangkan kemerdekaannya. Jika kita lihat tanggal, bulan dan tahun dibuatnya tulisan tersebut, jelas adalah masa paska kerusuhan Reformasi Mei 1998 di negara Indonesia. Demonstrasi, kerusuhan tidaklah meninggalkan ketenangan dan ketentraman, melainkan kesengsaraan rakyat lemah.
Berikut dihadirkan satu contoh lagi, menceritakan suatu keadaan, seolah-olah pembaca berada di lokasi yang dideskripsikan:
Sersan polisi Rusli menarik picu pistolnya, meloncat ke balik pohon secepat kilat, melepaskan tembakan ke arah sosok tubuh di antara semak-semak di bawah cahaya lampu remang-remang, lalu terdengar teriakan, "Aduh, mati aku!"
Bagi seorang jurnalis, gaya naratif membantu penulis untuk tidak menyudutkan pembaca dengan suguhan materi-materi berat dan bisa membuat jenuh pikiran. Tetapi, setelah menyajikan cerita yang menarik di awal tulisan, penulis sejatinya telah meringankan diskusi yang sebenarnya berat. Dan, berhasil menarik minat pembaca dari sejak bagian awal Feature.
Namun, tetap ada kekurangannya. Tak semua cerita bisa cocok diberi Lead seperti itu. Penulis yang mencoba memaksakan Lead macam ini akan menghasilkan Lead yang tak wajar, atau bahkan Lead tersebut akan merusakkan cerita feature itu sendiri.
***
Gabung dalam percakapan