www.izzuka.com

#03 Gaya Bahasa Tokoh dan Penulis

           Alhamdulillah, kita sebagai penulis telah mengenal sedikit banyak tentang tokoh kita. Kita telah tahu: 
  • data pribadinya, 
  • Hasrat keinginannya ketika tanpa sadar mengetahuinya, 
  • dan Motivasi, Niat secara sadarnya
  • citra yang ingin dia tampilkan, 
  • masalah batin atau kegelisahannya.
          Kini, kita akan menemukan gaya bahasa yang mendukung keadaan batinnya. Hal ini akan membantu mengingat-ingat dialog yang telah dilakukan oleh tokoh utama dan tokoh-tokoh pendukung dalam cerita nyata. Dan, memang sewajarnya demikian.

          Dalam kasus cerita Fulan ini, karena tokoh adalah manusia dan penulis juga manusia, maka kita musti merinci beberapa gaya bahasa teks-teks kalimat dalam cerita nantinya. 

          Karena dalam percobaan menulis Kelidan Kisah-kisah Nyata ini tokoh utama adalah penulis, maka ada kemungkinan terdapat kemiripan gaya bahasa antara sang tokoh dan gaya bahasa penulis. 

          Hanya saja ada perbedaan terkait apa yang ada dalam benak dan perkataan tokoh
  • berdasarkan usia 
  • dan ketika Hasrat dan Motivasi tokoh dahulu telah berbeda dengan Hasrat dan Motivasi penulis sekarang. 
  • Kecuali gaya bahasa tokoh yang telah mendekati masa-masa sekarang, tentu telah sama, dikarenakan kejadian-kejadian, dialog-dialog telah mendekati masa sekarang. 
  • Dan, juga Hasrat dan Motivasi sang tokoh telah sama dengan Hasrat dan Motivasi  penulis.
          Baiklah, kita akan rinci sebagai berikut:

Gaya Bahasa Tokoh

          Kita musti bedakan sesuai masa fase kehidupan (Anak kecil, SD, SMP, SMA, Kuliah, Bekerja, Berkeluarga). Semua kalimat-kalimat akan terdiri dari:
  • Kalimat dialog atau perkataan batin.
  • Kalimat dialog reaksi terhadap tokoh-tokoh lainnya.
  • Semua kalimat dengan narator atau sudut pandang "aku".
          Kita coba hadirkan contoh dari episode "Nyaris":

          Wajah Bapak nampak mengeras. Aku bisa melihat jelas rahang gigi Bapak mengatup kencang. Tak ada senyum lagi disana. Mata Bapak tidak fokus lagi. Bola matanya bergerak-gerak. Bapak menoleh ke kursi-kursi penumpang di depan dan belakang tempat Ibu dan kakak-kakakku duduk. Bapak juga sibuk memakaikan pelampung pada kakak-kakakku. Ibu telah memakainya. Ayah mengangguk kepada Ibu, seperti ada yang dipastikan bahwa semua baik-baik saja.

 Ada apa ini? Apakah ada yang tidak beres? Aku merasakan suasana yang ganjil. Suasana dalam pesawat agak rusuh. Apa yang telah terjadi?

 Akan tetapi, Bapak diam saja. Tak berkata satu katapun. Demikian pula Aku ingin bertanya, tetapi mulutku terkunci rapat. Aku jarang sekali bertanya-tanya, apalagi sekedar berkata-kata yang tidak ada keperluannya. Aku selalu takut untuk memulai sesuatu. Namun, aku adalah anak yang tidak pernah diam berpikir. Aku selalu ingin tahu sesuatu, ingin mencoba sesuatu. Aku merasakan ada kejanggalan suasana. Akan tetapi karena ini adalah pengalaman pertama menaiki pesawat terbang, maka terjadilah pertentangan nalar yang berkecamuk dalam pikiranku. Apakah memang demikianlah keadaannya jika naik pesawat terbang? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam kepalaku, tanpa berani mencari jawabannya.

 Suasana rusuh sudah agak padam. Ruang pesawat kembali tenang, tapi Aku masih merasakan adanya ketegangan. Bisikan-bisikan, kasak-kusuk para penumpang masih menyebar di langit-langit pesawat. Baiklah, aku ikuti saja apa yang akan terjadi.
 
          Setiap karakter, mempunyai gaya bahasanya sendiri. Tentu tokoh kita punya ciri khas dalam berbahasa sesuai karakternya. Misalkan, bagaimana ia menyebut dirinya sendiri dan orang kedua yang berada di hadapan tokoh dalam suatu dialog. 

            Dalam hal ini, contohnya ketika menyebut dirinya tokoh:
  • "aku", "saya", atau 
  • "beta", "ambo", "gue" yang memiliki warna lokal, atau 
  • "ana", "ane" untuk keadaan ketika dalam lingkungan suatu kelompok pengajian. 
            Untuk orang kedua, contohnya; 
  • "kamu", "kau", "engkau", "anda", 
  • untuk warna lokal seperti: "kau", "loe", "panjenengan", "sampean", "kon", 
  • sedang untuk lingkungan agamis misalkan: "anta", "antum", "ente", "anti", dan sebagainya. 
          Apakah memang berbeda terkait penggunaannya? Tentu saja beda. Ini hanya pedoman untuk mengingat dialog-dialog yang terjadi. Karena ini kisah nyata, dialog-dialog yang terjadi tentu tergantung lingkungan dan siapa yang dihadapi sang tokoh. Dialog-dilaog bukan diciptakan seperti dalam cerita fiksi.

          Sebagai satu contoh, 
  • kata "saya". Orang biasanya menyebut dirinya dengan "saya" dalam keadaan yang formal, santun, berjarak. Kata "saya" juga diambil dari kata "sahaya" yaitu dari "hamba sahaya" yang berkonotasi sifat rendah hati, tidak sombong. Dan, mungkin saja sang tokoh mengunakan pada momen-momen resmi seperti di kantor tempat ia kerja ketika berbicara dengan atasannya. 
  • Sedangkan, kata "aku", terkesan ego yang kuat, hanya terasa lebih akrab, dan tokoh mungkin menggunakannya ketika terjadi dialog dengan saudara-saudara, dengan ibu ataupun terhadap bapaknya.
          Kemungkinan berikutnya adalah, sang tokoh menggunakan analogi terhadap hal-hal yang ada dalam dunianya. Misalkan 
  • anak zaman now memakai unsur-unsur game dalam berbahasa, 
  • sedang anak zaman dulu memakai unsur-unsur permainan alam dan tradisional.
          Perhatikan contoh berikut dalam bab "Hari Raya":

          Dan, aku masih ingat sekali siang itu, mataku sulit terpejam.

          Selalu terbayang-bayang imajinasiku, menjadi sopir truk mobil-mobilan kayuku. Mulutku selalu berdengung, bak suara mesin diesel mobil truk betulan.     

          Aku menarik mobil itu dengan seutas tali. Truk itu melewati tanjakan gundukan pasir, melewati turunan lobang di tanah yang penuh genangan air hujan, terimajinasi dari truk gagah berani mengambil resiko menyebrangi sungai ketika jembatan rusak.

          Ketika truk melewati tanjakan dengunganku, makin keras, "Ngeeeengg!!!! Ngeeeeeeeeeng!!"
Ketika turunan, "Ciiit, esss aaahh, ciitt, eesss aaahh ...". Betul-betul sulit membedakannya dengan bunyi rem angin asli mobil truk betulan. Iyolah!

          Imajinasi dan khayalanku menggelembung. Membuncah. Aku gelisah. Aku menatap jam dinding. Jam dua siang. Masih setengah jam lagi. Rumah sepi. Suara Ibu tak terdengar lagi. Pasti sudah lelap. Aku sudah tak bisa bertahan lagi. Seakan peraturan Ibu belum pernah kudengar. Aku menghambur keluar rumah. Mobil-mobilan truk kayu kusambar.

          Ada banyak kondisi, yang membuat sang tokoh akan berbahasa sesuai dengan dunianya pada waktu itu. Semisal, 

ketika tokoh mulai menapak masa sekolah di kampus dengan jurusan Arsitektur, maka tentu saja wajar, jika ia ada dialog-dialog baik secara lisan maupun batin dengan terminologi ilmu arsitektur, dengan estetika bentuk, dan sebagainya. Dan, itu biasanya ia pakai secara konsisten. 

          Terminologi itu bisa berubah, jika ia mengalami perubahan hasrat, motivasi dan memasuki lingkungan dan masyarakat berdasarkan hasrat dan motivasinya yang berubah yaitu, menuju hasrat dan motivasi yang baru.

          Para pembaca dengan keasyikannya membaca, mungkin mereka tak menyadari, akan tetapi merasakannya! Dengan begitu tokoh kita itu akan seolah-olah hidup, nyata dan hadir disekitar para pembaca. Wow!

Gaya Bahasa Penulis

            Tak ada perbedaan terkait masa, karena semua kalimat-kalimat adalah gaya bahasanya pada masa sekarang. Semua kalimat-kalimat akan terdiri:
  • Deskripsi-deskripsi, ungkapan-ungkapan dan penjelasan-penjelasan dalam cerita.
  • Tanggapan-tanggapan atau komentar-komentar terkait kejadian masa akan datang yang dialami Fulan, yakni bisa saja masa sekarang atau masa lalu yang telah dekat dengan masa kini penulis. Dalam hal ini tetap memakai narator atau sudut pandang "aku", akan tetapi "aku" pada masa sekarang dengan gaya bahasa penulis, karena tokoh "aku" adalah orang yang sama, yakni penulis sendiri.

          Dan, ini kita coba hadirkan contoh pada episode yang sama:

         Suara deru pesawat yang hampir tak terdengar kembali meliputi ruangan penumpang. Sesekali terasa goncangan-goncangan kecil akibat menembus awan-awan pada ketinggian tertentu. Setelah dewasa nanti, aku baru tahu goncangan-goncangan tersebut diakibatkan "turbulence" dan "thermal" di sekitar area awan-awan tersebut. Turbulence adalah putaran angin yang tidak tentu arahnya yang mengakibatkan pesawat kehilangan "airborn" (daya terbang) sesaat. Sehingga, pesawat seolah-olah "anjlok" (jatuh) sedikit ke bawah. Sedangkan thermal adalah panas yang timbul di bawah awan yang akan mengakibatkan pesawat agak terangkat sedikit ke atas.

          Nah, terlihat jelas bahwa penulis memberi komentar atau tanggapan untuk menjelaskan apa itu "turbulence" dan "thermal" yang itu, tentu saja si anak kecil Fulan yang baru berusia sekitar 8 tahun waktu itu, yaitu masa pengisahan cerita nyata, belum mengerti apa itu "turbulence" dan "thermal". Akan tetapi setelah ia nanti dewasa, ia tahu dan itu saat sekarang atau masa lalu ketika Fulan dewasa. Tentu saja tahu, dikarenakan sang tokoh adalah penulis sendiri, karena ia pernah mengikuti klub layang gantung atau "hang gliding" kontingen DKI Jaya (Jakarta) pada masa tahun 1984 - 1987.

            Pola ini sangat penting dan urgensi sekali. Dikarenakan setiap tulisan itu mempunyai sudut pandang, penekanan berdasarkan opini atau pandangan penulis. 

            Pola ini dibutuhkan oleh penulis, karena penulis sekarang memiliki cara pandang hidup seorang Ahlus Sunnah atau Salafy. Yakni cara pandang yang ditimbang oleh Islam. Tanggapan suatu kejadian mustilah segera disampaikan bersanding dengan kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf peristiwanya. Standar benar atau salahnya suatu kejadian musti dilihat dari sudut pandang seorang Ahlus Sunnah.

          Misalkan: 

          Dalam cerita ada kejadian menyelisihi syariat yang waktu itu sang tokoh juga belum mengerti bahwa itu salah. Fulan dengan kerentanannya terjerumus ikut dalam jaringan terorisme, kelompok yang bermanhaj Khawarij. Dan, dalam peristiwa tersebut sang tokoh secara kenyataan memang mendukung peristiwa dan kegiatan terorisme tersebut. 
  • Maka saat itu juga, di sisi tulisan pada paragraf kejadian yang tidak sesuai agama Islam, mustilah ada suatu paragraf atau minimal kalimat yang menjelaskan bahwa, 
  • "Esok lusa ketika aku telah mengenal Islam secara benar, penerimaanku terhadap kejadian tersebut tak bisa dibenarkan secara agama."
          Jika kalimat-kalimat pengingkaran tersebut, 
  • diletakkan ketika tokoh atau Fulan mulai sadar atau di akhir cerita, maka itu terlalu jauh dari saat tulisan peristiwa berlangsung. 
  • Boleh jadi para pembaca telah lupa, kejadian itu pada episode yang mana. 
  • Belum lagi jika ada pembaca yang tidak menyelesaikan bacaan Kelindan Kisah-kisah Nyata sampai tamat, maka ia akan memahami hanya sepotong. 
  • Ini cukup riskan, karena pembaca itu akan mengira bahwa tak adanya pengingkaran, melazimkan pembaca membenarkan tindakan sang tokoh. 
          Begitulah, suatu tulisan harus memiliki sudut pandang yang tajam dalam timbangan syariat. Karena memang tujuan penulis sepertinya terlihat remeh, hanya memberi hiburan pada para pembaca agar nikmat dan asyik membaca kisah. Akan tetapi justru keasyikan itulah musti menjadi titik lengah pembaca, sehingga penulis sanggup memasukkan nilai-nilai moral Islam yang Haq kepada para pembaca tanpa mereka sadari.

***

Mau belajar menulis Kelindan Kisah-kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Atau, mau belajar menulis Kelindan Kisah-kisah Nyata via luring (offline), beli saja bukunya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Produk

Online Shop
Buku, Peranti belajar,
dan sebagainya



Misi


Fakta
Ciri Khas Artikel



F A Q (Frequently Asked Questions)
Pertanyaan yang sering diajukan

Silahkan chat dengan tim kami Admin akan membalas dalam beberapa menit
Bismillah, Ada yang bisa kami bantu? ...
Mulai chat...