Bad Mood = Sick Heart?

          Setiap hari, kita butuh makan dan minum. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita perlu hal-hal yang bisa mencapai agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Seperti, berbagai keterampilan. Taruhlah, untuk mudahnya supaya ada yang kita makan dan minum, kita membelinya. Beli kemana? Atau dimana? Mungkin ke pasar. Nah, untuk mencapai pasar yang mungkin berjarak kita perlu kendaraan. Kendaraan kita ada sepeda, sepeda motor, dan mobil. Baiklah, kita naik sepeda saja. Naik sepeda kita butuh keterampilan untuk mengendarai.

          Apa maksud paragraf di atas?
          
          Bahwa, keterampilan mengendarai sepeda itu bukan tujuan. Ia suatu keahlian yang bisa didapat oleh setiap orang. Dan, kita gunakan ketika ada kebutuhan, ada tujuan lain yang lebih penting bagi kebutuhan kita. Makan dan minum, kita butuhkan ketika kita lapar dan haus. Sedangkan kondisi lapar dan haus akan timbul, jika tubuh kita sehat. Selezat apapun makanan dan minuman kita, tak akan bisa masuk ke dalam perut kita jika kita sakit. Padahal tubuh kita tetap butuh itu, bahkan kita akan diinfus cairan infus jika kita sakit. Cairan tetap musti dipaksa masuk, walaupun mulut kita menolaknya. Jika tidak? Kita akan mengalami dehidrasi, bahkan bisa-bisa kematian mengancam diri kita. Oleh sebab itulah kita akan dilarikan menuju IGD (Instalasi Gawat Darurat) di rumah sakit kota kita.
          
          Kini, kita telah diberitahu oleh para Salaf kita, bahwa "kebutuhan kita akan ilmu melebihi kebutuhan kita akan makan dan minum". Jika demikian halnya, pikiran dan kalbu kita butuh akan itu setiap harinya. 
          
          Untuk mencapai itu dan terpenuhi ilmu sebagai makanan dan minuman kalbu, kita butuh hal lain, layaknya kita butuh keterampilan naik sepeda untuk membeli makanan dan minuman untuk fisik tubuh kita. Apa itu? Yaitu, membaca, mendengar, dan bahkan menulis ilmu, disamping berbicara juga merupakan momen mengolah ilmu yang kita sampaikan.
          
          Membaca, kita ibaratkan naik sepeda motor. Sedangkan menulis kita ibaratkan menaiki sepeda. Mengendarai sepeda motor memang lebih cepat, tetapi detail-detail perjalanan tidak begitu terekam dalam kalbu. Sedangkan menulis, mungkin lebih lambat waktu yang diperlukan untuk menulis ilmu, tetapi lebih banyak yang kita simpan dalam pikiran. Karena "menulis adalah membaca dua kali." Ya, dengan bersepeda banyak yang kita rekam oleh penglihatan kita, karena lambatnya kecepatan luncurnya dibanding sepeda motor.
          
          Sekarang, mengapa kita tak punya gairah untuk menulis? 
          
          Kita ibaratkan seperti yang tadi telah kita sebutkan, kita membeli makanan dan minuman ke pasar dengan bersepeda. Kita tidak punya motivasi menulis, karena kita kurang merasa butuh ilmu sebagai makanan dan minuman kalbu kita. Lalu mengapa kalbu kita tidak butuh ilmu, sedang kata ulama, kebutuhan ilmu melebihi makanan dan minuman? Ya ibarat tubuh tak mau makan dan minum karena, tubuh kita sakit. Bahkan makanan dan minuman akan kita muntahkan, selezat apapun makanan dan minuman tersebut.
          
          Jadi, kurang gairah dan kurang motivasi menulis, mungkin bisa kita periksa kalbu kita. Sakitkah? Padahal, kata ulama juga bahwa manusia yang sehat kalbunya, ia tak akan pernah kenyang dari ilmu. Jangan-jangan hati kita yang sakit sehingga tidak merasa lapar akan ilmu. Menulis hanyalah media atau alat untuk mencapainya yang lebih kuat daripada membaca. Semangatnya menulis menjadi indikator butuhnya ilmu oleh kalbu dan pikiran kita, bagaikan semangatnya kita "ngebut" naik sepeda ke pasar membeli makanan karena kelaparannya perut kita.
          
          Jangan-jangan Bad Mood , lebih tepat kita sebut Bad Heart? Sick Heart?