Sudut Pandang
Sudut Pandang
Kalau kita kembali kepada bahasan Eksposisi, yaitu bentuk dasar wacana tulisan Opini, maka mengenai Tesis, akan kita temukan bahwa Tesis ini dirumuskan, atau ditentukan oleh yang namanya Sudut Pandang. Bahkan, Sudut Pandang ini sangat mirip dengan Tesis ini. Dan, bisa saja kita samakan,
Sudut Pandang = Tesis
Sudut pandang ini biasanya berisi rumusan mengenai;
- aspek-aspek apa saja yang akan dimasukkan dalam wacana tulisan
- dan aspek-aspek apa saja yang tidak boleh dimasukkan dalam tulisan.
Termasuk, apa alasan atau dasar pemikiran yang mendorong kepada pemilihan aspek-aspek tersebut. Sehingga kita tahu bahwa sebuah tulisan itu ditulis berdasarkan sudut pandang tertentu. Jika menggunakan sudut pandang lain akan menghasilkan tulisan yang sangat berbeda, meskipun dengan tema yang sama.
Misal, artikel tentang "pacaran di kalangan anak muda" jika ditulis dengan sudut pandang lain, misalnya sudut pandang masyarakat umum dengan berbagai pandangan, tentu akan menghasilkan tulisan yang lain sama sekali.
Mungkin jika dari sudut pandang tersebut, malahan mereka ingin anak muda itu pacaran sebelum menikah, yakni agar terjadi kesesuaian watak antar calon pasangan dalam berkeluarga nantinya. Sehingga di kemudian hari tidak menuai masalah. Dan, ini sudaut pandang yang tidak bener. Sehingga dasar pemikiran yang disodorkan penulis yang mempunyai keberpihakan kepada Islam tidak tercapai.
Untuk itulah, sebagai seorang Ahlus Sunnah, mesti memiliki dasar ilmu syar'i sebelum menulis suatu wacana tulisan, entah itu Eksposisi, Artikel, Feature, ataupun Kisah Nyata.
Karena suatu tulisan sejatinya sama saja dengan menyampaikan Sudut Pandang, dalam hal ini Ahlus Sunnah.
Atau, bisa juga melalui jalur proses kebalikannya, dan hasilnya tetap sama. Misal, seorang penulis memmpunyai ide tulisan. Lalu, dia langsung tulis saja. Kemudian, karena tulisan itu hakikatnya adalah Sudut Pandang, maka dalam proses menulis wacana tulisan itu pun ia akan - harus - mencari dalil-dalil yang mencocoki apa yang sedang ia tulis. Sehingga hasil tulisannya tetap memiliki Sudut Pandang Ahlus Sunnah.
Menulis itu Terapi Hati
Di era digital ini, menulis terasa mudah. Dengan bantuan AI, Google, dan kamus daring, siapa pun bisa menulis. Namun, jika tujuan menulis hanya untuk mencari perhatian atau ketenaran, maka memang menulis itu sangat mudah dengan bantuan alat-alat seperti disebutkan di atas. Namun tulisan itu mungkin akan terasa hampa.
Sebaliknya, jika menulis itu sebagai Terapi Hati memiliki makna lebih dalam. Tulisan semacam ini tidak perlu menunggu untuk dipublikasikan di majalah, majalah dinding, buku, blog, channel, dan sebagainya.
Cukup dengan menuliskannya di hati, karena Allah Ta'ala adalah saksi utama dari setiap niat dan amal kita. Lalu, ketika tulisan lahir dari hati tulus, Allah akan mengubahnya menjadi Motivasi, Taufik, dan hidayah. Tulisan tersebut dengan pertolongan Allah akan mendorong kita untuk mengamalkannya, baik secara batiniah maupun lahiriah.
Lalu, apakah menulis dengan niat dakwah, menyebarkan kebenaran dan kebaikan itu bukan hal yang baik, bahkan utama?
Maksud Menulis itu Terapi Hati, bukan berarti menulis untuk dakwah bukan hal yang utama. Tentu saja itu hal yang utama. Namun, dengan Menulis sebagai Terapi Hati yang - Insya Allah - dilakukan setiap hari, maka dari situ terkumpul berbagai tulisan dengan banyak tema dan bermacam bentuk wacana tulisan, dan bukan banyak lagi, tetapi membanjir.
Kita bisa tinggal pilih tema apa yang akan dipublish di media. Lalu, diedit, disempurnakan, di tambah yang kurang, seperti; dalil-dalil, struktur kerangka yang mengalir, kalimat yang lebih baik lagi, dan sebagainya. Bahkan, ide-ide yang kita dapatkan dari belajar ilmu syar'i atau pengalaman pribadi bisa menjadi bahan tulisan yang bermanfaat. Dan, menarik tentu saja, karena disisipkan fakta-fakta pengalaman hidup sang penulis, atau orang lain.
Menulis sebagai Terapi Hati akan berbuah amal. Maka, ketika didakwahkan, tulisan yang keluar dari hati akan masuk ke hati pembaca, selanjutnya pun akan berbuah amal bagi pembaca. Sebaliknya, tulisan yang hanya mengejar popularitas mungkin tidak akan memberikan pengaruh yang mendalam.
Bukankah Syaikh Rabi al-Madkhali pernah berkata, "Yang keluar dari hati akan masuk ke hati."
Berapa banyak tulisan kita hambar tidak menimbulkan atsar, karena tulisan kita enggak nusuk ke hati sendiri, bahkan mungkin ada niat-niat lain.
Yuk! kita jadikan menulis sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki hati kita.
Proses
Urutan kronologi Menulis itu Terapi sebagai berikur;
1. Membaca kalimat ulama Salaf (kitab atau terjemahan)
Ini adalah tahap awal menerima ilmu. Saat membaca, saraf mata menangkap huruf dan kata, lalu otak memproses makna, dan makna itu tertulis di hati. Karena menurut ulama Salaf, akal itu di hati, maka membaca teks sejatinya adalah menulis ke dalam hati.
2. Menyalin atau mengetik ulang isi tersebut:
Proses ini melibatkan mata dan tangan secara aktif. Saat menulis ulang, kita otomatis mengingat dan mengulang isi teks, yang berarti memperkuat rekaman memori di otak. Aktivitas ini menjadikan ilmu lebih lekat dan lebih dalam tergores di hati.
3. Mengecek kembali dengan sumber asli:
Dengan mencocokkan ulang tulisan kita, berarti kita membaca ulang untuk ketiga kalinya. Inilah repetisi yang membentuk kebiasaan kuat dan mendalam dalam berpikir dan berperasaan. Ilmu pun menjadi bagian dari gaya hidup dan laku hati.
4. Dampaknya pada otak dan hati:
Kerja sama antara mata, tangan, otak, dan hati ini adalah bentuk ibadah fisik dan batin. Karena menurut Ahlus Sunnah, amal fisik termasuk bagian dari Iman, maka proses ini akan meningkatkan Iman dan Motivasi, mendorong kita untuk terus berlanjut belajar berikutnya dan beramal batiniah pun lahiriah.
5. Hasil akhirnya:
Dengan igtiqamah, kebiasaan ini akan membentuk karakter ilmiah dan akhlak mulia yang muncul secara otomatis. Tulisan bukan lagi sekadar karya, tapi menjadi terapi jiwa dan bekal amal. Karena Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menegaskan dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, bahwa;
Akhlak adalah; ungkapan tentang penampilan kokoh pada jiwa, dimana jiwa ini akan dengan mudah lahir berbagai perbuatan, tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu (otomatis, spontan tanpa dipikir atau bawah sadar - ed.).
6. Menulis ke hati adalah pondasi berpikir dan berperasaan:
Menulis ilmu syar'i sejatinya adalah *menanam pondasi berpikir dan berperasaan yang lurus dan terarah. Ketika ilmu telah tertulis di hati, maka akan muncul gagasan-gagasan tulisan mandiri—sebuah refleksi dari pertarungan antara ilmu syar'i yang ideal dan kenyataan hidup zaman now yang makin jauh dari syariat.
Ilmu yang tertanam di hatipun menyingkap kegelapan dalam diri. Karena ilmu adalah cahaya, maka begitu ia masuk ke dalam dada, tampaklah coreng-moreng dan dosa-dosa diri sendiri. Hati menjadi peka. Tulisan kita pun tidak lagi berangkat dari kata-kata hampa, tapi dari perenungan, dari sorotan tajam ilmu terhadap realita buruknya jiwa kita sendiri.
Inilah yang membuat tulisan itu hidup, menancap, dan meninggalkan atsar. Seperti kata Syaikh Rabi’ al-Madkhali: “Apa yang keluar dari hati, akan masuk ke hati.”
Yang akan membawa atsar pula bagi hati-hati para pembaca, karena sejatinya tulisan tersebut sebelumnya telah nusuk ke hati penulisnya sendiri dan berbuah amal.
Gabung dalam percakapan