www.izzuka.com

Portal #03 Sekolah

          "Mana nama lengkap dan nomor test masuk ISTN loe, Malv?" Herman bertanya, sembari menadahkan tangannya ke arah Malva.

         Malva yang sedang duduk di kursi tamu rumah Herman, di atas ketinggian lantai lima suatu gedung apartemen, menyahut, "Éh sebentar gue belum tulis, bagi kertas sama bolpén dong ....," sambil nyengir.

          "Yééé, bukannya dari tadi disiapin ... bentar," Hermanpun agak kesel, tapi tidak marah dan bangkit dan menuju ke ruang lain, yaitu kamarnya untuk mengambil kertas dan bolpén. Tak berapa lama ia muncul kembali dengan benda-benda itu, "Nih ..." Herman menyodorkan kepada Malva.

          Rumah Herman terletak di daerah Senayan seberang Stadion Senayan, di selatan Ibukota. Rumah itu bukan rumah tinggal layaknya di pemukiman umumnya. Namun, suatu apartemen, dan rumah Herman adalah salah satu unit rumah di lantai 5 di dalam apartemen tersebut. Beberapa gedung apartemen ada di area pinggir jalan besar yang termasuk urat nadi Ibukota. Komplek apartemen tersebut khusus untuk para keluarga TNI angkatan laut. Dan, ayah Herman termasuk dalam korps TNI tersebut.

          Malva menulis nama lengkapnya dan nomor tes pendaftaran masuk mahasiswa baru Institut Sains dan Teknologi Nasional - Jakarta, lalu menyerahkannya kepada Herman.

          "Emang loe yakin Man, kita bisa diterima di Jurusan Arsitektur ISTN?" tanya Malva ragu.

         Herman tersenyum, "Pokoknya beres deeh ...," lalu ia melanjutkan argumennya, "Eyang gue khan orang yayasan di ISTN, dijamin kita diterima di ISTN." sembari Herman tertawa.



          Herman adalah teman sekelas Malva pada tingkatan kelas 3, waktu sekolah di SMA Negeri 3, Teladan. Sejak itu, Malva sering bersama-sama dengan Herman, belajar dan melakukan kegiatan apa saja.

         Bahkan, ketika Malva gagal masuk di ITB, akhirnya Malva mencoba bersama teman-teman yang lain, termasuk Herman untuk mengikuti tes pendaftaran masuk mahasiswa Proyek Perintis 3 (PP3), di Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS Sebelas Maret). 

         Dan, gagal juga, bahkan sempat bocor soal-soal tesnya yang berbentuk pilihan ganda dan tersebar jawaban-jawabannya. 

          Herman sempat lolos, tetapi karena soal-soalnya bocor. Maka pihak panitia PP3 mengadakan tes ulang untuk yang telah lulus. Lalu, Herman bagaimana? Gagal juga. 

          Adapun Malva sejak dari tes pertama, ia tak berhasil lolos. Yah, nasib.

         Untuk itulah, setelah kegagalan-kegagalan tersebut, Herman mengajak Malva untuk mendaftar masuk ke Jurusan Arsitektur ISTN, dengan jaminan diterima dengan koneksi Eyangnya Herman.

         Namun, yang membuat Malva kurang semangat, Jurusan Arsitektur ISTN itu jurusan baru yang baru ada untuk pertamakalinya di ISTN. Dan, di Departemen Pendidikan Negara Indonesia masih dengan status "Terdaftar". Jelas saja, karena jurusan baru, tentu belum ada lulusan insinyur berkualitas dari jurusan tersebut.

          Kemudian, ketika mendaftarkan diri ke sekolah tersebut bersama Herman, jika diterima Malva telah melihat kegiatan belajar kuliahnya di gedung SMA Perguruan Cikini, yang terletak di jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Bahkan bergabung dengan tingkat sekolah yang lain, TK, SD, dan SMP. Hanya saja waktu kuliah dari sore sampai malam, bergantian dengan yang di tingkat lain, sekolah di pagi hari. 
Jurusan Arsitektur ISTN memang di bawah Yayasan Perguruan Cikini (Percik), tetapi belum atau tepatnya tidak mempunyai ruang kuliah dan gedung tersendiri.

         Dan, krusialnya Malva dan Herman berarti termasuk angkatan pertama Jurusan Arsitektur ISTN. Hebohnya, nanti bisa masuk dalam sejarah sekolah tersebut, Malva tersenyum dalam hati untuk menghibur dirinya.

          Sekolah ISTN, dahulu berdiri tahun 1950 dengan nama ATN (Akademi Tenik Nasional) lalu berubah bernama STTN (Sekolah Tinggi Teknik Nasional) dan akhirnya berubah lagi dengan nama ISTN. Sekolah ini di bawah bayang-bayang sosok tokoh yang bernama Bapak Prof. Dr. (H.C.) Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo - rahimahullah. Ia adalah pendiri ATN sekaligus menjadi Rektor STTN dan ISTN. Pak Rooseno dijuluki Bapak Beton Indonesia, karena jasa-jasa beliau untuk negeri Indonesia di bidang konstruksi dan teknologi beton.

         Duh, kok jadi ngelantur, tak apa ... mengingat itu sekaligus hiburan untuk Malva. Sekalipun jurusan Arsitektur ISTN masih bayi dan tak jelas masa depannya, setidaknya "jasmerah" - jangan melupakan sejarah - ISTN beserta kualitas dan prestasinya di bidang teknologi beton membuat Malva agak PD untuk sekolah di situ.

         Apalah boleh buat, ITB dan UNS tak tergapai, ISTN tak apalah, daripada nganggur tidak sekolah.

         Hari pertama kuliah, yang diisi oleh dosen senior Ir. Meiril Isa tak membuat semangat Malva. Bayangkan 160 an mahasiswa dalam satu kelas, di kelas SD Perguruan Cikini. Dinding yang bersebelahan dengan selasar kelas, hanya setinggi leher, tinggi selebihnya terbuka lebar tanpa dinding. Malva jadi ingat waktu sekolah SD di kota Bengkulu, sama persis suasana kelasnya, hanya ini sekolah di waktu sore sampai malam hari.

         Ketika jeda istirahat waktu kuliah, para mahasiswa Arsitektur nongkrong di tempat duduk halaman sekolah, pas bersisian di sepanjang pagar halaman, menghadap jalan Cikini Raya. Sambil kulineran siomay yang lewat dan minum teh botol, dan ngobrol ngalor ngidul.

         Para mahasiswa, termasuk Malva, merasa lebih nyaman nongkrong di tempat duduk bersisian sepanjang pagar halaman, sambil menonton kendaraan-kendaraan yang lalu lalang, yang macet di jalan Cikini Raya, setiap sore pada jam pulang kerja kantor. Daripada kuliah dengan suasana vibes sekolah dasar.

Esok lusa, Malva menyadari bahwa konteks-konteks yang kurang mendukung sesuatu, bisa pula menurunkan semangat pada sesuatu tersebut. Dengan vibes itu, kondisi akan semakin terpuruk ketika ada konteks-konteks yang bertentangan memberi kenyamanan.

         Malva dan beberapa mahasiswa, termasuk Herman semakin tak semangat untuk kuliah, dan lebih banyak nongkrongnya. Apalagi di pinggir jalanan Cikini Raya banyak kulineran lainnya, ketika menjelang malam seperti roti bakar dan pisang bakar, nasi rawon, dan sebagainya. Akibatnya para mahasiswa Arsitektur seringnya hanya titip absen kuliah kepada teman-teman yang masuk mengikuti kuliah.

          Beberapa tahun kemudian, jurusan Arsitektur ISTN pindah ke Kampus ISTN di Srengseng Sawah, Jakarta. Patut disyukuri, bahwa jurusan Arsitektur memiliki gedung baru beserta ruangan-ruangan kuliahnya. Tersulutlah semangat baru Malva untuk kuliah di gedung baru.
Hari-hari berikutnya, ternyata hanya beda tipis.

          Bedanya, Malva dahulu berangkat kuliah dari rumah yang berada di Jakarta Pusat, daerah Johar Baru ke gedung Percik di jalan Cikin Raya berkendaraan mobil. Namun kini Malva berangkat kuliah dari suatu rumah sewa yang disewanya bersama 2 teman kuliahnya, dengan berjalan kaki, atau bersepeda.

         Dosen-dosen terkadang tidak hadir, akhirnya Malva dan teman-temannya banyak nongkrong dan ngobrol sambil menunggu dosen datang. Entah kenapa, mungkin juga karena jurusan Arsitektur ISTN statusnya masih "terdaftar". 

          Ada juga dosen-dosen senior dari Universitas Indonesia, datangnya paling satu bulan sekali.
Kondisi-kondisi tersebut membuat Malva semakin terpuruk motivasi kuliahnya. 

          Ketika SMA, Malva pernah bertanya kepada bapaknya, "Pak nanti kuliah itu gimana sih? Apa kayak sekolah di SMA gini?"

          "Kuliah itu gak kayak SMA, kalau di SMA kamu gak hadir akan ditanya sama sekolahan, 'Mengapa kamu tidak masuk sekolah' dan kamu mesti punya alasan, jika tidak dan berulang kali kamu bisa dihukum ...," bapak ambil nafas sejenak lalu, "Tapi kalau kuliah, kamu masuk silahkan, tidak ya enggak ditanya, pokoke nanti keluar nilai sesuai mata kuliah yang kamu hadir, jika kebijakan dosen bersangkutan memasukan nilai kehadiran, nanti digabung nikai ujian kamu ..."

         Sampai pada satu malam, yang Malva tak akan pernah melupakannya di sepanjang hidupnya.

          Malam semakin menenggelamkan seluruh isi kampung Srengseng Sawah. Temaram lampu masih menyala di salah satu rumah kos kontrakan, yaitu tempat kosannya Malva. Rumah itu tak jauh dari kampus ISTN, yang ditinggali 3 mahasiswa, termasuk Malva.

         Malva mengerjapkan penglihatannya yang semakin tipis. Kantuk telah merasuk ke matanya, dan menjalar perlahan tapi pasti mulai dari kepalanya terus berlanjut ke sekujur tubuhnya. 

         Dalam kantuknya, Malva masih bisa berfikir betapa beruntungnya ia. Semua telah ia dapatkan. Pergaulan yang luas, teman yang banyak, pengetahuan akan segala hal. Malva adalah seorang anak muda yang tidak pernah ketinggalan zaman dan selalu mengikuti trend. Malva, sampai saat ini sejatinya, adalah seorang mahasiswa yang lumayan cerdas pada angkatannya, tapi sayangnya tak semangat kuliah. Dia disukai oleh teman-temannya, karena ia terkenal pandai bergaul. Ia juga tidak miskin. Malva diberi mobil khusus oleh orang tuanya untuk kuliah dan kegiatan sehari-hari.

         Malva tidak tahu pukul berapa sekarang. Jangankan menengok ke arah jam yang terletak di atas meja, melirikpun ia malas, karena kantuk telah betul-betul menawannya. Malva melihat teman-temannya sudah terkapar dalam tidurnya. Entah mereka sudah sampai di galaksi mana.

         Kini, hanya tertinggal Malva sendiri yang masih terjaga di alam nyata. Pikirannya menerawang entah kemana, maka ia ikuti saja arus pikirannya itu.

          Antara sadar dan tidak sadar, entah mimpi atau bukan, imajinasi Malva terbang melayang, lamat-lamat Malva seolah mendengar seperti suaranya sendiri, “Éh, Malv lagi ngapain sih?”. Malva merasa seolah itu suara bukan dari hatinya, entah darimana. 

(Mungkin ini seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, bahwa ada bersitan-bersitan kebaikan di kalbu manusia, di antaranya ada yang dari ilham para tentara malaikat).

          Suara itu begitu menghentak sehingga Malva sangat terkejut. Suara itu tidak keras tapi sungguh telah menyentaknya. Ia merasa kata-kata suara itu berkonotasi bahwa ia telah melakukan hal yang sia-sia belaka. Suara itu seakan-akan memergokinya. Suara itu seakan suara yang telah lama ia kenal belasan tahun yang lalu. Sekarang ia berjumpa lagi dengan Malva seperti perjumpaan antara dua sahabat lama yang kental.

          “Kamu tanya aku?” hati Malva berbalik bertanya setengah kurang percaya bahwa suara itu tertuju kepadanya.

          “Iya, kepada siapa lagi?” jawab suara itu meyakinkan diri Malva.

          “Aku lagi ngantuk, emang kenapa?” jawab Malva agak ketakutan.

          “Aku datang menagih janji kepadamu,” suara itu mengubah arah pembicaraan. Agaknya inilah maksud dia yang sebenarnya mengapa datang kepada Malva.

          “Janji apa?” tanya hati Malva terheran-heran. Agaknya ia tak pernah berjanji apa-apa kepada suara itu. Tetapi Malva berusaha mencoba mengingat-ingat kembali. Malva hanya ingat bahwa ia pernah bertemu dengan suara itu tadi, entah berapa tahun yang lalu dan dimana.

          “Bukankah kamu pernah berjanji padaku bahwa, kamu ingin menjadi dirimu yang sebenarnya?” suara itu menegaskan dan mengingatkan kepada Malva.

          “Apa benar aku janji seperti itu? Dimana? Kapan?” hati Malva balas bertanya.

          Suara itupun bercerita, 

“13 tahun yang lalu, di Bumi Rafflesia, komplek NI, kilometer tiga setengah, hari Jum’at, pukul 12 siang. Ketika itu kamu sedang bermain di halaman rumahmu setelah pulang sekolah. Kamu melihat temanmu yang tinggal di rumah bersebelahan dengan rumahmu sedang berjalan memakai sarung. Dia lewat di depan rumahmu. Lalu kamu bertanya kepadanya, ‘Eh, endak kemano? ‘

Diapun menjawab singkat, ‘Sholat Jum’at.’

Aku ada disana waktu itu, kemudian akupun bertanya kepadamu, ‘Mengapa kamu tidak pergi sholat Jum’at juga? khan kamu orang Islam?’

‘Mana aku tahu …,’ jawab hatimu merasa terpojok.

‘Sekarang aku beritahu supaya kamu tahu, bahwa orang Islam harus sholat.’

‘Oo… begitu ya, mengapa aku tidak tahu ya?‘ jawab hatimu lagi makin heran.

‘Iya memang kamu tidak tahu, karena kamu dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga abangan. Bahkan sebagian saudara-saudara ibu dan ayahmu beragama Kristen. Ada juga yang beragama Kejawen, sehingga wajar kalau kamu sampai umur 9 tahun ini tidak tahu menahu tentang Islam.‘

‘Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Kemana tempat aku bertanya tentang agamaku sedangkan sekelilingku abangan semuanya,’ tanya hatimu seraya meminta nasehat.

‘Lakukan apa yang sanggup kamu lakukan.’

‘Tidak bisa!’ bantah hatimu keras.

‘Kenapa tidak bisa?’

‘Maksudku, untuk sekarang tidak mungkin, aku bingung dengan kondisi keluargaku, dan aku tidak mau cukup sampai pada apa-apa yang mampu aku lakukan. Tetapi aku berjanji pada suatu saat nanti, kalau Allah memberi kesempatan dan kekuatan padaku, aku akan mempelajari apa-apa yang harus aku ketahui. Dan itu merupakan keselamatan bagiku pada waktu sebelum dan setelah aku mati.’ Janji hatimu dengan berapi-api. 

         "Masih ingatkah kamu dengan kata hatimu yang dulu kamu telah ikrarkan kepadaku? Apakah kamu sudah lupa dengan itu semua?” suara itu bicara terus tanpa memberi kesempatan kepada hati Malva untuk membantah, bahkan bertanya sekalipun.

         Lambat laun Malva mulai ingat kejadian itu. Ingatannya makin lama makin terang benderang. Bagaikan kabut pagi hari yang mulai menipis berganti dengan terang surya. Kejadian itu seolah-olah video dokumenter yang telah lama disimpan dalam lemari besi pengaman, dan sekarang sedang diputar ulang. Jelas sekali. Kejadian itu memang telah tergores begitu tajam di sanubarinya. Sehingga begitu tersingkap, seakan-akan terlihat jelas sekali di depan mata.

          “Eh, kok ngelamun? Bagaimana? Mau bayar janjimu apa tidak?” tagih suara itu menghentikan perjalanan jiwa Malva ke masa lalu.

          “Eeemm…, bagaimana ya?”

          “Lho kok bagaimana? Kapan lagi? Aku sudah menunggu terlalu lama,” desak suara itu lagi.

          “Tapi sepertinya aku belum siap. Mengapa kamu datang begitu tiba-tiba? Mengapa kamu tidak memberi tahu kepadaku jauh-jauh hari sebelumnya?” hati Malva berkilah seperti orang berhutang menghindar dari wajibnya membayar hutang.

         “Ingatlah bahwa kematian akan datang tiba-tiba pula,” ancam suara itu.

          Tiba-tiba di belakang Malva ada suara lain, “Jangan hiraukan dia Malv!”

          Malva terkejut setengah mati. Ia berpaling ke belakang. Malva tidak melihat siapa-siapa kecuali dirinya sendiri yang masih terjaga dan teman-temanku yang telah terlelap. Suara bernada agak kasar, dan menohok hati Malva.

(Mungkin ini seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin, bahwa ada bersitan-bersitan keburukan di kalbu manusia, di antaranya ada yang dari hawa nafsu, terkadang berkolaborasi dengan gerombolan setan).

          “Malv, jangan dengarkan dia. Kalau kamu ikuti dia kamu mungkin di dunia ini akan hidup enak, tetapi setelah mati kamu akan celaka. Tapi kalau kamu ikuti aku, walaupun di dunia hidupmu sengsara, tapi nanti di akhirat sudah jelas dan pasti kamu akan bahagia selama-lamanya. Dan lagi di dunia ini kamu khan belum tahu hidupmu enak atau tidak. Yang pasti pasti aja deh!” lanjut suara yang pertama menebar pengaruh kepada Malva seraya menasehatinya.

          “Malva kita khan sahabat. Apa kamu tega mengkhianati persahabatan yang sudah kita pupuk begitu lama. Kalau kamu terus bersamaku niscaya kamu akan enak terus. Soal kabar-kabar setelah mati belum tentu benar. Kalau mau yang pasti pasti aja, ya… ini lihat saja yang di hadapanmu. Nggak usah jauh-jauh mikirnya, kurang kerjaan!” tambah suara yang kasar berusaha lanjut menebar keraguan kepada Malva.
 
          “Tidak! sekarang aku tidak mau kalah lagi dengannya! Sekaranglah saatnya aku merebut yang dari awal sebenarnya milikku,” kata suara yang pertama mulai mengarah teguh dan kokoh.

          “Malva, kamu gak akan mau!” suara yang kasar, terus menebar provokasi kepada Malva.

          “Malva ayooo …”

          “Malv!…”

          “…”

          “…”

          Malam semakin larut. Kantuk semakin menguasai Malva. Matanya semakin berat. Kesadaran Malva kian lenyap.

          “Malva … kembali … kepadaku …,” sayup-sayup Malva mendengar suara yang pertama di antara saling pengaruh dengan suara yang kasar.

          Setelah itu Malva tak bisa mendengar kelanjutannya lagi.

***

          Pagi yang cerah. Malva baru saja bangun dari tidurnya, dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia melihat teman-temannya sudah bangun pula. 

          Malva mengamati satu persatu, teman-teman satu rumah kontrakan kosnya. Mereka rata-rata bukan teman-teman yang baik. Ada yang tidak sholat, kalaupun ada yang sholat, sholatnya "bolong-bolong". Bahkan mereka ada yang kerjanya mabuk-mabukan, main judi dengan modal uang kuliah dari orang tuanya. Rusak. 

          Hati Malva selalu menolak itu semua, karena senantiasa dibayang-bayangi peristiwa tak terlupakan belasan tahun yang lalu, menggores tajam di kalbunya, tentang "shalat Jum'at" teman tetangganya ketika ia berusia kelas 4 SD.
 
         Malva memanggil Rudi, salah satu teman kosnya di rumah itu.

          "Rud, gué mau pindah kos."

***
Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Produk

Online Shop
Buku, Peranti belajar,
dan sebagainya



Misi


Fakta
Ciri Khas Artikel



F A Q (Frequently Asked Questions)
Pertanyaan yang sering diajukan

Silahkan chat dengan tim kami Admin akan membalas dalam beberapa menit
Bismillah, Ada yang bisa kami bantu? ...
Mulai chat...