www.izzuka.com

#18 Memasukkan Fakta dalam Eksposisi menjadi Artikel

         Berikut kita akan mencoba memasukkan alat-alat bantu Artikel dalam Eksposisi “Putuskan Saja!”, yang selanjutnya otomatis menjadi Artikel. Untuk membaca kembali contoh wacana tulisan Eksposisi "Putuskan Saja!", bisa TAP /KETUK link > di sini.

          Perhatikan paragraf-paragraf yang dicetak miring adalah alat-alat bantu Artikel yang dimasukkan, berupa Lead, Fakta-fakta, dan Sengatan di akhir, jika ada.


Putuskan saja!

(Lead)
Hanya dua pilihan: putuskan akad, atau putuskan saja!

(Fakta - Intro)
          Sebut saja si Fulan. Konon si Fulan berteman sejak kecil dengan si Fulanah. Kebersamaan yang tanpa disengaja membuat mereka berdua semakin akrab. Kelompok belajar bersama, bermain sepatu roda dalam satu klub sepatu roda, sama-sama terpilih dalam mewakili sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat di kota propinsi, dan banyak kegiatan lainnya. Menginjak usia dewasa, walaupun mereka tinggal di kota yang berbeda, mereka berdua masih bisa saling kontak. Tak ada komitmen apa-apa, tak ada “malming”an, tak ada pertemuan yang disengaja. Maka si Fulan “baper”, gr (gede rasa) merasa ada komitmen di antara mereka, entah “apa”, gak jelas. 

          Tiba-tiba seakan-akan ada petir melecut si Fulan, “Fulanah menikah,” ketika teman sekota Fulanah memberi kabar.

         Akhirnya si Fulan dirundung perasaan yang terobrak-abrik berkepanjangan. Entah sampai kapan. Bahkan ketika Fulanah telah wafat, perasaan luluh lantak itu masih menghantui dan berkepanjangan.

          Itu bukan pacaran, bagaimana yang lebih dari itu?

         Pacaran sudah bukan hal baru lagi di kalangan remaja. Bahkan pacaran sudah dikenal sejak zaman bahuela. Mungkin, bisa dikatakan rata-rata remaja sekarang sudah atau sedang melakukannya. Namun, banyaknya orang yang melakukan tentu tak berarti sah dan tidak masalah.

          "Kenapa kamu pacaran?" pertanyaan ini kritis namun tak banyak yang mempedulikan. Mungkin remaja berpacaran sudah menjadi tren dan kebiasaan; lebih parah lagi anggapan bahwa pacaran adalah pelengkap identitas diri, tidak berpacaran sama saja remaja tanpa identitas. Pertanyaan ini pun kini sudah dianggap 'ndeso' alias kampungan.

         Jika ditelisik, ada macam-macam jawabannya; mencari pasangan yang ideal, sebagai motivasi penambah semangat, ada juga yang demi menguji cinta sejati, bahkan ada yang berniat jahat.

         Namun, bukan remaja cerdas jika kamu menilai perbuatan hanya dari segi alasan. Pola pikir kritis dan panjang-pandang tidak boleh absen dari kepala seorang remaja saat menilai suatu fenomena yang sedang terjadi di depan matanya.

Mencari Pasangan Ideal
          Sebagian besar berpacaran untuk mencari tipe yang tepat dan ideal sebagai pasangan hidupnya. Dengan berpacaran, terjadilah perkenalan dan kedekatan dengan calon pasangan yang dipandang ideal atau sesuai dengan tipe idaman. Harapannya, jika cocok maka berlanjut ke tahap lanjutan yang lebih serius.

(Fakta - Argumentasi)
          Ada sesosok wanita yang diketahui terbiasa dengan aktivitas anak muda. Berpacaran telah menjadi mode, waktu usia SMA telah berpacaran, pada waktu itu ia berpikir pria pasangannya inilah yang terbaik. Ternyata setelah kuliah ada lagi sosok lelaki yang lebih tampan, gagah dan “macho’. Karena lelaki itu mengikuti kegiatan Menwa (Resimen Mahasiswa) yaitu kesatuan militer di kampus sekolahnya. Akhirnya bergantilah pacarnya, dan ini sampai di pelaminan, di karuniai dua putra. 

          Namun, apa boleh buat dikata, dalam rumah tangga pun pasti ada badai menerpa. Sang suami belum bisa bekerja, karena masih meneruskan kuliah di kampusnya. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sang istri bekerja. Parahnya, pekerjaannya adalah pelatih fitnes, yang banyak mengumbar aurat. Akibatnya sang suami cemburu. Pertengkaran demi pertengkaran tak dapat dihindari. Ujungnya telah kita kira: perceraian. 

          Setelah beberapa tahun kemudian sang wanita menikah kembali. Masalah-masalah yang semacam selalu timbul. Kini pernikahan itu sedang kritis di ambang perceraian kembali.

          Pasangan ideal memang menjadi angan yang membayangi pikiran kita; pasangan berwajah indah, bersenyum menawan, rendah hati, dan tidak sombong, suka menabung. Atau setidaknya pasangan yang sesuai dengan tipe yang terencana di kepala, meski tak mesti ideal. Kenyataannya mencari yang ideal atau serasi di dunia nyata laksana mencari jarum kecil di tumpukan jerami. Nyaris tidak ada!

         Serasi di satu sisi, tidak cocok di sisi yang lain. Ideal pada pandangan pertama, namun lama-lama terlihat juga kekurangan-kekurangannya.

        Akhirnya, karena pacaran tak memiliki hubungan yang mengikat, gonta-ganti pasangan pun mudah saja dilakukan jika dirasa tidak ada kecocokan di tengah jalan. Mantan (baca:korban) pun bertebaran. Padahal hubungan sudah sangat dekat bahkan ada yang kelewatan na'udzubillah.

         Efek sampingnya, gonta-ganti pasangan menjadi kebiasaan hingga pun ia berkeluarga; jika ada sedikit saja persoalan, tuntutan cerai dilayangkan dengan mudah tanpa beban.

         Gaya hidup kawin-cerai sudah tak jarang lagi, dunia selebriti dan 'tokoh' televisi sebagai contoh nyatanya. Gaya hidup kawin-cerai itu merupakan salah satu efek kepanjangan dari hobi gonta-ganti pacar yang sudah menjadi tren kehidupan mereka, na'udzubillah. Di samping juga menjadi pemicu utama perselingkuhan yang tak kalah marak dalam dunia keluarga mereka.

Motivasi Hidup
          "Biar hidup makin berwarna," katanya. Motivasi hidup menjadi alasan sebagian yang memutuskan untuk berpacaran. Biasanya, motivasi ini menjadi alasan remaja yang sedang duduk di bangku pendidikan; dari formal hingga non-formal (baca: pondokan).

         Saat si dia meraih peringkat yang tinggi, semangat mengejar pun bertambah agar tidak kalah. Saat si dia terlihat semakin dewasa, pun berusaha dewasa agar bisa sama. Sampai pun terkait dengan ibadah; saat dia bisa berangkat umrah - contohnya -, timbullah keinginan untuk umrah juga.

(Fakta - Argumentasi)
         "Bang, kalau mau proses nikah ana, ana sama si Fulanah aja ya ...," ujar seorang mahasiswa yang aktif di seksi Rohani Islam suatu perguruan tinggi kepada ustadz pembinanya. 

          Dia dan si Fulanah, sama-sama giat dalam seksi Rohani Islam himpunan mahasiswa di suatu fakultas universitas. Lirak-lirik di suatu institusi dalam momen campur-baur kegiatan kampus, sangat mungkin terjadi. Walaupun tidak jelas-jelas pacaran secara fisik, sang mahasiswa dan mahasiswi telah melakukan pacaran dalam konotasi maknawi. Pacaran batin. 

         Hal seperti ini sering terjadi, ngetek, ngincer, atau membidik seorang teman wanita jauh-jauh hari, padahal masih belum tahu kapan menikah. Masalah ini, seperti disampaikan oleh ustadz pembina seksi Rohani Islam tersebut.

          Motivasi hidupnya pun digantungkan kepada faktor eksternal di luar dirinya. Semua tergantung si dia; semangat, kerja keras, rajin belajar, hingga pun beribadah.

          Kondisi demikian jelas berpengaruh kuat terhadap kebersihan niat dan arah perbuatan. Lebih fatal lagi jika sudah menyangkut urusan ibadah yang tidak boleh melewatkan keikhlasan. Bisa-bisa terjerumus dalam kesyirikan.

          Belum lagi jika terjadi hal-hal di luar perkiraan; putus atau si dia menerima lamaran orang lain. Motivasi pun turut hilang meninggalkan jiwa yang hampa dan hancur tak mampu berdiri lagi. Hidup pun berasa hambar dan tak ada semangat untuk melanjutkannya.

          Menghadapi kondisi seperti ini tak mudah bagi remaja yang belum stabil dalam berpikir dan mengelola emosi. Alhasil, tak sedikit yang mengakhiri semuanya dengan bunuh diri. "Lebih baik mati daripada hidup sengsara kehilangan cinta," katanya.

Menguji Cinta Sejati
          Alasan lain yang membuat seseorang berpacaran adalah menguji cinta sejati demi mempertahankan rumah tangga di kemudian hari. Namun, alasan ini juga tidak mendasar; karena nyatanya hidup berumah tangga tak cukup hanya bermodal cinta seperti yang diumbar di layar-layar kaca. Hidup berumah tangga membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kekuatan menghadapi berbagai persoalan.

(Fakta - Argumentasi)
          Jika dilihat keharmonisan si A’lan dan si A’lanah dalam berpacaran, tak diragukan lagi mereka adalah pasangan yang solid, kompak dan tak tergoyahkan. Dari semasa kuliah tingkat satu sampai lulus menjadi sarjana, sepertinya tak terbayangkan apa yang akan memisahkan mereka. Dimana ada A’lan, di situ ada A’lanah. Belajar bersama, mengerjakan tugas bareng, bahkan A’lanah seperti telah dianggap anak sendiri oleh orang tua A’lan, begitu pula sebaliknya. Mungkin inilah yang disebut “cinta sejati”, mungkin. 

          Namun, tinta takdir berkata lain. Setelah mereka telah menyandang gelar sarjana, ternyata A’lan beristrikan bukan A’lanah, dan A’lanah pun bersuamikan bukan A’lan. 

          Ketika A’lanah ditanya, “Kok kamu gak meneruskan berumah tangga dengan A’lan?”

         Iapun serta merta menjawab dengan sedih, “Aku juga gak tahu, kenapa seperti ini jadinya, tahu-tahu A’lan menikah, kabarnya itu pilihan orang tuannya.”

         “Lho?” belum berumahtangga sudah cerai, wah, wah, wah …

         Tidak melulu cinta yang bisa mempertahankan kelanggengan sebuah keluarga. Cinta bisa bertambah, namun juga bisa berkurang karena terkikis dengan ujian yang menerpa. Komitmen bersama untuk membangun hidup berkeluarga adalah kunci utamanya; sama-sama menyadari kekurangan dan bersama memperbaiki demi keutuhan hidup berkeluarga.

         Tak sedikit yang telah lama berpacaran dengan penuh cinta dan keyakinan, lalu akhirnya keduanya menikah karena sudah menemukan cinta sejati. Namun, saat badai menerpa rumah tangga mereka, 'cinta sejati' yang mereka tempa dan uji bertahun-tahun kandas seketika. Karena tak ada kesabaran dan tekad untuk berbenah diri. Perceraian pun tak bisa dihindari.

Menikah Lebih Baik
         Sebaliknya, justru banyak mereka yang menjalin tali pernikahan dengan cara syari; tanpa pacaran, tanpa berduaan, tanpa malming-an. Hanya bermodal informasi rinci tentang ciri dan sifatnya. Calon pasangan mereka adalah orang baru yang mungkin belum lama ia kenal melalui perantara. Wajahnya pun baru saja ia tatap - dengan halal - lewat nazhar sebelum lamaran.

         Barangkali belum ada cinta yang kuat atau 'cinta sejati', namun komitmen untuk membangun keluarga di atas syariat agama membantu mereka untuk bersabar dan bertahan saat ujian datang. Bersamaan dengan berjalannya waktu, cinta pun lahir di antara mereka dengan wujud sucinya bukan cinta karena nafsu, bukan cinta karena harta, bukan cinta karena terpaksa, namun cinta yang bersih karena Allah.

"Tujuh orang yang Allah naungi mereka di hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,... dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka bersatu karena-Nya dan berpisah (juga) karena-Nya. " [Bukhari dan Muslim]

(Fakta - Saran)
         Lain halnya dengan si Abdurrahman, dari dulu dia gak sreg dengan namanya pacaran. Dia komentar, “Orang pacaran kadang gak tahu malu ya …”

         Abdurrahman menambahkan, “Terkadang teman itu mengorbankan sesama temannya gegara pacar, udah janjian mau rapat usaha, eee … katanya dia gak bisa datang karena musti ini-in pacar, itu-in pacarnyalah, ck ck ck … lupa ma temen seperjuangan.”

         Akhirnya Abdurrahman pun mendapatkan pilihan istrinya melalui proses nikah syar’i secara islami. Rumah tangga tak akan lepas dari masalah, tetapi jika berprinsip hidup yang sama, apapun masalahnya mudah saja diterjang. Bahagia abadi, termasuk di kehidupan negeri setelah kematian.

         Itulah cinta sejati yang abadi. Cinta yang hingga kapanpun tetap ada bahkan maut pun tak bisa memisahkannya. Bukan cinta bermodal suka dengan fisik cantik atau ganteng belaka yang akan hilang saat keriput dan uban penuhi kepala. Bukan pula cinta bermodal daya tarik dompet tebal yang akan sirna saat kemiskinan menyerang. Bukan juga cinta yang tumbuh karena kepentingan dunia yang akan menjadi permusuhan di hari kiamat kelak.

"Para kekasih pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." [Terjemah Q.S. AzZukhruf:67]

          Sobat, jika demikian suci dan mulianya cinta karena Allah, tentu menjaga diri dan kehormatan jauh lebih baik daripada memilih untuk hidup berpacaran. Jodoh dan rezekimu sudah ditetapkan, pacaran tidak akan membuatmu mendapatkan hidup bahagia sebagaimana tidak pacaran pun tak akan melewatkanmu dari hidup tentram penuh cinta.

          Karena semua sudah ditulis lengkap dalam lembaran takdir. Tinggal masalahnya, manakah jalan yang kamu pilih untuk mendapatkannya; jalan halal atau haram, baik ataukah buruk.

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejelekan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." [Terjemah Q.S. Az Zalzalah:7-8]

         Jika telah jelas demikian, apakah cinta abadi itu? Ya, itulah dia, cinta dari dunia sampai akhirat. Kekal selama-lamanya.

Ustadz Fauzi Nur, Majalah Tashfiyah EDISI 78 VOL.07 1439H-2018M

***

Mau belajar menulis Artikel - Asyik Dibaca via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Atau, mau belajar menulis Artikel - Asyik Dibaca  via luring (offline), beli saja bukunya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Buku Menulis
Artikel

Asyik Dibaca - 50k


Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis


Atau, hanya mau baca postingan-postingan Belajar dan Menulis? Tanpa berdialog, komentar dan ngobrol. Ikuti /follow saja Channelnya TAP /KETUK > di bawah ini:

Channel WhatsApp

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Produk

Online Shop
Buku, Peranti belajar,
dan sebagainya



Misi


Fakta
Ciri Khas Artikel



F A Q (Frequently Asked Questions)
Pertanyaan yang sering diajukan

Silahkan chat dengan tim kami Admin akan membalas dalam beberapa menit
Bismillah, Ada yang bisa kami bantu? ...
Mulai chat...