#22 Contoh Artikel Profil
Perlu diketahui, bahwa penulis beranikan berbagi cara menulis agar enak dibaca ini, setelah sekian tahun mempelajari berbagai cara bagaimana agar 'gampang' menulis. Buku yang sudah penulis 'lahap' tentang menulis kurang lebih 50 - an buku.
Ini semua terkait postingan di blog yang harus 'original'. Telah banyak yang penulis baca juga tentang ini di postingan-postingan blog tentang menulis. Penulis juga sempat konsultasi dengan beberapa orang blogger, bahkan sempat 'kopdar' (copy darat) bertemu dan bincang-bincang. Jawaban mereka hampir sama semua, untuk mendatangkan traffic yang ramai pengunjung di blog kita adalah dengan posting tulisan 'original' kita.
Dan, dari buku-buku yang penulis baca tentang cara menulis ini, penulis menemukan cara inilah dan jenis-jenis tulisan yang enak dibaca inilah;
- yang paling mudah dipahami
- dan paling mudah dipraktekkan.
Yaitu, dengan cara "tutorial",
tuntunan belajar sambil praktek langsung meniru model-model tulisan yang disodorkan.
Monggo, jika kurang percaya, carilah buku panduan menulis di toko-toko buku, akan kita jumpai segala macam teori yang njelimet. Akhirnya tidak mulai-mulai menulis, bahkan makin 'puyeng' dan merasa semakin sulit untuk memulai menulis karena beban banjir amanah teori yang penuh sesak dalam kepala.
Maka, cobalah mulai saja menulis, jangan banyak 'mikir'. Bismillah.
Berikut contoh tulisan penulis kembali, dalam bentuk Artikel Profil, alhamdulillah satu hari, selesai.
Abdullah, sederhana kaya hati
Hari ini hari Ahad. Pagi cerah yang penuh semangat penghilang segala rasa penat.
Abdullah sedang mencangkul di tepi jalan lingkungan perumahan. Wajahnya mengembun keringat. Aku menghampirinya.
"Bersihin saluran?" serta-merta tanyaku kepadanya.
"Iya, ya kalau tidak dirawat saluran akan penuh tanah. Supaya lancar juga sih ..., mumpung libur," jawab Abdullah sambil menyeka keringat yang menjagung di dahinya.
"Saya mohon maaf tidak bisa ikut bantu, lagi banyak kerjaan," aku menyampaikan 'udzur'ku.
"O iya gak pa pa kok ...," jawab Abdullah sambil tersenyum tulus.
Abdullah membersihkan saluran air lingkungan perumahan kami adalah spontanitas keinginannya. Tanpa dibantu siapapun. Tak ada kerja bakti bersama. Dia mau mengorbankan sedikit waktu liburnya untuk memperhatikan keadaan lingkungannya. Tanpa ada yang memerintah. Inisiatif sendiri.
Itulah Abdullah, salah satu tetangga kami yang hidup penuh kesederhanaan. Setiap hari dia berangkat kerja di suatu perusahaan perdagangan di tengah kota. Di tengah kesibukan kerjanya, Abdullah masih menyempatkan belajar mengikuti kajian ilmu agama di pondok pesantren dekat lingkungan kami.
Masih terukir tajam dalam benakku, ketika aku berkenalan dengannya. Sosok wajah cerah yang aku lihat selalu hadir di setiap kajian agama, baik kajian umum ataupun kajian khusus seperti, pelajaran bahasa Arab, pelajaran Fiqih, dan sebagainya.
Dahulu, ia berjualan minuman es untuk mencari nafkah keluarganya. Pada kesempatan pertama kali kenal, memang aku tidak banyak 'ngobrol' dengannya. Awal berkenalan, terkesan biasa-biasa saja. Ya, memang begitu terlihat biasa dengan kesederhanaannya. Secara kasat mata, terlihat apa adanya. Tidak ada yang istimewa dari dirinya.
"Gak semua orang mau semangat kerja bakti, kita lihat saja nanti kelanjutannya," di suatu kesempatan seorang teman melontarkan pengalamannya kepada Abdullah.
"Ya gak pa pa, yang demikian jangan malah membuat kita tidak semangat. Justru kalau bisa kita memberi contoh, bahkan kita bantu mereka jika dibutuhkan," kata Abdullah, mengomentari argumen temannya itu.
Subhanallah, pikiran yang sungguh sangat sederhana, tidak neko-neko. Semakin aku mengenal Abdullah, semakin aku tahu bahwa di balik kesedehanaannya tersimpan pikiran yang sederhana pula, tidak 'njelimet', tapi mengandung pemikiran yang sangat kaya dan dalem banget. Dan, justru dengan pikiran yang sederhana itu menghasilkan amal yang besar, perbuatan yang tak sesederhana aku pikir, dan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Aku pun semakin penasaran dengan sosok yang namanya Abdullah ini.
Suatu ketika, aku lihat putranya sedang main hujan-hujanan, aku heran apakah ayahnya tidak marah. Putranya main hujan-hujanan dengan riang gembira. Di wajahnya terlihat tanpa beban sama sekali. Bahkan putranya Abdullah ini, sampai main berenang-renang di saluran air yang agak lebar di samping rumah tetangganya. Lain halnya dengan anak-anak yang lainnya, ketika hujan ada beberapa dari mereka hanya berdiam diri di dalam rumah mereka.
"Anakmu kemaren main hujan-hujanan ya?" ceritaku kepada Abdullah, seakan menyelidik mengapa putranya dibolehkan main hujan-hujanan.
"Biarin saja ...." jawab Abdullah tersenyum. "Hiburan buat dia, daripada cari hiburan lain perlu ongkos dan biaya," lanjut Abdullah, menjelaskan alasan membolehkan putranya main hujan-hujanan.
Pikiran yang sangat sederhana sekali, tidak mempersulit diri dengan umumnya orang dengan pola konsumtif di era perdagangan global. Bahkan menyelesaikan banyak permasalahan yang sebetulnya manusia mencari-cari masalah itu sendiri.
Suatu pagi, aku sedang berjalan bersama Abdullah kembali ke rumah dari salat subuh di masjid. Sesampai di depan rumahku, kami berhenti sejenak dan berbincang-bincang masalah halaman rumahku yang berupa permukaan tanah yang sebagian ditumbuhi rumput-rumput.
"Pinginnya sebagian diberi batu-batu pondasi yang kecil-kecil sebagai pengerasan, agar mudah dilewati dan parkir kendaraan," usulku sendiri untuk halaman rumahku itu.
"Iya, bagus itu, malah terlihat alami. Rumah di daerah pinggiran begini ya cocoknya yang alami-alami. Apalagi dengan pemandangan gunung begini. Saya juga heran sama orang-orang pinggiran sini, ada halaman sedikit, apa-apa dicor. Orang-orang desa pingin hidup seperti orang kota yang sumpek dan panas, padahal orang kotanya ingin hidup seperti di desa dengan suasana alami, … aneh ya," Abdullah mencurahkan pendapatnya tanpa segan-segan.
Subhanallah, Abdullah tidak pernah belajar di bangku kuliah tentang apa itu "Ekologi" atau apa itu "Eko Arsitektur", ternyata dengan pikirannya yang lugas menghasilkan 'omongan ringan' tapi 'berat dicerna'. Para pakar sudah meneliti 'ngalor ngidul' tentang kerusakan lingkungan, tentang tata kota masa depan, tentang bagaimana menanggulangi banjir. Rupanya solusinya, cukup dengan kesederhanaan berpikir.
Suatu pagi lagi, aku berkunjung ke rumah Abdullah yang sangat sederhana terbuat dari tiang kayu dan dinding GRC (semacam triplek tahan air). Rumah itu dibangun di atas tanah sewaan, bukan milik Abdullah sendiri.
"Assalamu'alaykum...," aku melontarkan salam, sambil melihat Abdullah yang ternyata di teras rumahnya sedang membuat sesuatu dengan bahan kayu, dan peralatan palu dan paku.
"Wa alaykumussalam," sambut Abdullah ramah.
"Lagi buat apa?"
"Ini keranjang buat di sepeda motor, ... itu lho rencanaku kemaren," jawab Abdullah menjelaskan.
Memang, Abdullah pernah bercerita akan keluar dari pekerjaannya. Dia ingin berjualan makanan. Selidik punya selidik, kenapa Abdullah ingin keluar dari pekerjaannya?
Abdullah menjelaskan dengan sangat sederhana, "Gak enak kerja tapi tidak ada kerjaan, orderan dagangan majikanku makin menipis, karena imbas peraturan baru tentang jenis poduk yang di perjualbelikan perusahaan tersebut tidak boleh ditaruh di warung-warung."
Lagi-lagi dengan kesederhanaan berpikirnya Abdullah, dia niat keluar dari pekerjaan. Tidak enak hanya makan 'gaji buta'. Bahkan, tak ada rasa menyesal kehilangan pekerjaan.
"Santai bae," sergahnya yang wong Ngapak.
Rencana dalam berjualan pun dia punya 'omongan', "Jualan tuh, kayak orang dulu. Misal dia sudah tahu sehari laku 100 dagangan, ya sudah dia bawa 100 tiap hari, enggak kurang enggak lebih. Karena dia tahu segitu sudah cukup untuk hidupnya hari itu. Dia tidak berpikir bagaimana usahanya berkembang, atau buka cabang lagi, tidak. Cukup."
Aku memuji Allah ta'ala lagi, ...
Ini yang aku pernah pelajari di Eko Arsitektur, bahwa ciri teknologi ramah adalah ekonomi yang bersifat stabil dan kesenangan sebagai motivasi kerja.
Sedangkan, teknologi keras /tidak ramah adalah menginginkan ekonomi bersifat tumbuh dan bermotivasi kerja upah, sehingga menghasilkan inovasi besar-besaran untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentu ini mengakibatkan destruktif (kerusakan) dimana-mana bagi makhluk lainnya.
Ada benarnya kata orang, "Small is Beautiful". Kecil (sederhana) itu indah. Ra sah neko-neko kata wong Jowo. Tidak usah macam-macam.
"Tapi jangan bilang-bilang siapa-siapa dulu ya ... kalau saya mau keluar dari kerjaan," masih kuingat “ancaman” Abdullah sambil tersenyum polos.
***
Abdullah adalah nama samaran untuk menjaga 'privacy' tokoh-tokoh dalam tulisan. Dialog-dialog yang tertulis adalah kurang lebih begitu yang diingat oleh penulis.
Artikel di atas, kalau kita lihat sepintas adalah Artikel dalam bentuk Profil, akan tetapi jika kita lihat isinya adalah seperti 'menyingkap' sesuatu. Sehingga dari isi atau Tesisnya bisa digolongkan Artikel Eksposisi.
Dari sisi lain, bisa juga dia sabagai Satir, yakni 'menyindir' orang yang 'rakus' akan dunia dan sok 'jaim' (jaga image) atau inginkan status sosial (cinta kedudukan - cinta kepemimpinan).
Nah, memang tidak jarang kita menemukan Artikel yang dapat dimasukkan ke dalam dua golongan, kadang-kadang tiga, bahkan lebih. Sehingga, penggolongan ini tidak 'saklek' atau mutlak adanya.
Yang paling penting adalah, kita mencoba menulisnya kembali menurut model tulisan tersebut dengan tema yang lain. Ayo!
***
Tugas Latihan
Buatlah salah satu varian Artikel dari macam-macam Artikel di atas! COBALAH! Kalian BISA!
***
Mau belajar menulis Artikel - Asyik Dibaca via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
Atau, hanya mau baca postingan-postingan Belajar dan Menulis? Tanpa berdialog, komentar dan ngobrol. Ikuti /follow saja Channelnya TAP /KETUK > di bawah ini:
Gabung dalam percakapan