Sekapur Sirih - bukan cerita fiksinya, tetapi gaya cara berceritanya
Bismillahir Rahmanir Rahim,
Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan para pengikutnya.
Buku ini, berjudul “MENULIS CERITA TINGKAT DASAR - KISAH NYATA Inspiratif - rasa Novel” mencoba menyajikan petunjuk praktis belajar menulis cerita nyata bagi kita. Konsep belajar menulis cerita nyata ini adalah hasil dari pengalaman menulis KISAH NYATA dengan seluruh permasalahan yang dihadapi.
Diawali ketika masa kecil sangat suka membaca buku-buku cerita petualangan anak-anak, maupun petualangan tokoh-tokoh penjelajah. Setiap liburan sekolah, diantar bapak ke toko buku, memilih banyak buku cerita, dan dibelikan bapak. Sesampai di rumah, menyepi, membaca dan membaca, sehingga pantas tersemat gelar Kutu Buku.
Kemudian, ketika di usia sebelum belasan tahun ternyata mendapat nilai tinggi pada mata pelajaran Mengarang, Bercakap-cakap dan Membaca. Kebiasaan tersebut sempat terkubur sampai usia dewasa.
Namun, ketika mulai mengaktifkan blog www.sketsarumah.com sebagai media mencari nafkah, kondisi tersebut menuntut untuk menulis artikel-artikel berkualitas sebagai konten blog, demi menjaring klien.
Dalam proses belajar menulis artikel, didapatlah trik yang bagus dalam penulisannya agar disukai orang banyak. Artikel yang bertemakan opini-opini serius, tetapi enak dibaca, dan tak membuat dahi terlipat. Artikel yang mampu menyusupkan pendapat-pendapat ke dalam benak-benak pembaca tanpa terasa. Yaitu opini-opini yang dibalut fakta-fakta dan cerita demi mendukung argumentasi-argumentasinya.
Dari sini, mulailah tertarik untuk membaca cerita-cerita, tentu yang tersedia secara umum sebagian besar cerita fiksi (rekaan). Dan, ini mengingatkan kembali pada kebiasaan membaca sejak kecil. Dengan usia yang cukup matang, membuat daya nalar dan emosi rasa ikut terbawa di dalam cerita-cerita yang dibaca.
Lanjut, merasakan betapa banyak hikmah, amanat atau pelajaran yang dapat dipetik pada saat akhir membaca suatu cerita.
Bersamaan saat itu mengikuti suatu kajian Islam yang melarang membuat cerita fiksi (dusta), maka mempunyai gagasan yang masih di awang-awang, “Mengapa tak membuat cerita nyata dengan gaya bahasa fiksi? Tentu sangat menarik dan lebih mendalam kesannya”.
Bom Bali 2002 |
Kisah ini sempat dibaca guru kami, Al-Ustadz Qomar ZA, Lc. Beliau menyatakan, bahwasanya tak mengapa menulis kisah seperti kisah tersebut, asalkan kisah nyata.
Kejadian berikutnya, adalah berkunjung ke rumah saudara, tepatnya keponakan. Ia mempunyai koleksi buku-buku cukup banyak yang ditata pada suatu rak buku tersendiri. Maka, tertariklah untuk melihat-lihat. Ada satu buku fiksi, cerita teror kejadian dahsyat yang kita kenal dengan nama Bom Bali. Paragraf-paragraf awal pada bab pertama cerita, mendeskrepsikan suasana tenang dan biasa saja di lokasi, tetapi tiba-tiba terjadilah sesuatu yang begitu menyentak dan menyesakkan dada.
Berikut potongan episodenya
1. MAWAR BIRU UNTUK ROSIE
…
Kamera di atas tripod sempat digerakkan Sakura menghadap meja makan sekaligus jejeran bangunan kafe sebelum ia dengan riang lari menuju parkiran depan. Kamera itulah yang menangkap potongan kejadian itu. Kejadian yang menjadi muasal seluruh cerita ini.
Kejadian yang amat menyakitkan, dan esok-lusa mengubah seluruh kehidupanku.
Beberapa detik berlalu, Sakura dan Jasmine sudah terlihat berlari-lari kembali dari mobil di background layar televisi, terlihat agak samar di balik close-up wajah Rosie dan Nathan.
Nathan asyik bertanya tentang persiapan pernikahanku besok, “Akhirnya kau berlabuh juga, Tegar.” Nathan tersenyum. Aku tertawa. Anak sulungnya Anggrek yang duduk di sebelah Nathan diam menyimak, tangan kanannya berusaha menyelimuti Lili yang tertidur di kursi bayi.
Beberapa detik kami tertawa, tanpa menyadari di antara pengunjung yang memadati Pantai Jimbaran, terlihat samar-samar dari layar televisi, yang tidak terlalu kuperhatikan, Sakura sedang bertabrakan dengan seseorang yang justru tengah bergegas keluar menuju parkiran kafe Sea-fud.
Sakura terduduk di pasir. Orang itu terjerembab di atas meja kosong.
“Ups, maaf.” Sakura tertatih berdiri, menepuk-nepuk baju putihnya yang terkena pasir.
Orang yang ditabraknya menyeringai marah. Napasnya tersengal. Matanya melotot. Persis seperti dugaan Jasmine, pasti diomeli. Sesorean ini saja, kakaknya sudah dua kali menabrak orang. Tadi dengan pelayan kafe ketika baru tiba, membuat kelapa muda yang dibawa si pelayan jatuh bergulingan. Sekarang menabrak lagi.
Jasmine menghela napas di samping Sakura, menunggu reaksi, menatap takut-takut lelaki di hadapannya. Orang itu baru saja meninggalkan tas ranselnya di bawah salah satu meja makan persis di tengah keramaian. Setelah sempat memaki pelan, cepat-cepat ia bergegas pergi, tidak mempedulikan Sakura dan Jasmine.
“Om, kacamatanya jatuh.” Jasmine yang tangan kanannya menggenggam sepuluh tangkai mawar biru menjulurkan kacamata yang baru saja diambilnya dari gundukan pasir.
Orang itu menoleh, kasar mengambilnya. Jasmine menyeringai, bukan karena sikap kasar itu, tetapi karena kacamata itu ternyata pecah. Jasmine sudah khawatir Sakura kena bentak. Tetapi orang itu ternyata tidak mengucapkan sepatah kata pun, lantas membalik badannya, hendak melangkah lagi. Tidak peduli.
“Om, HP-nya juga jatuh.” Jasmine membungkuk, mengambil telepon genggam di pasir, menjulurkannya lagi ke orang itu.
Kali ini Jasmine yakin orang itu akan benar-benar marah karena layar telepon genggamnya juga pecah. Sakura memang begitu, sembarangan. Kalau berjalan, langkah kakinya ke mana, pandangan matanya ke mana, enggak singkron, begitu pernah kukatakan padanya saat tracking di kaki Gunung Rinjani, kaki Sakura sering banget tersangkut akar pohon.
Orang itu melotot. Mengambil kasar telepon genggam dari tangan Jasmine. Ia sudah kehilangan sepuluh detik yang amat berharga. Sepuluh detik yang menentukan.
“Om sebagai gantinya, Jasmine kasih satu bunga, ya.” Jasmine sambil menyeka dahinya yang berkeringat, polosnya menjulurkan setangkai mawar biru. Hitung-hitung pengganti barang yang pecah.
Orang itu bahkan tidak menoleh, bergegas pergi tanpa bilang apa pun. Jasmine termangu. Loh? Kok, nggak marah? Kan mereka sudah bikin rusak kacamata dan HP-nya? Jasmine menoleh. Sakura yang sudah berdiri sempurna di sebelah Jasmine, menepuk-nepuk pasir, mengangkat bahu, yang penting nggak kena omel. Mereka berlari-lari kecil melanjutkan langkah menuju meja makan.
Aku tidak memperhatikan detail ini hingga seminggu kemudian. Aku sungguh tidak tahu detail yang ternyata belakangan amat penting untuk menyelusuri jejak pelaku kejadian sore ini. Aku telanjur sibuk menanggapi pembicaraan Nathan dan Rosie.
“Bagaimana mungkin kau tidak pernah mengenalkan Sekar pada kami, Tegar?” Nathan menyeringai. Rosie mengangguk ikut bertanya.
“Mungkin Sakura benar, Ayah, Bibi Sekar jelek.” Anggrek memotong.
“Huss!” Rosie mendelik, meski tertawa.
“Kalian juga akan mengenalnya, Anggrek. Besok-lusa Bibi Sekar pasti mau diajak ke Gili Trawangan. Tentu saja cantik, Bibi Sekar cantik. Meski tidak secantik Anggrek, sih.” Aku ikut tertawa. Anggrek tersipu.
00.00.05, timer itu terus menghitung mundur.
“Bagaimana buku ceritanya, sudah selesai?” Malam ini aku tidak ingin membicarakan pernikahanku. Malam ini milik keluarga mereka, bukan milikku.
Mengalihkan menu pembicaraan. Bertanya tentang buku cerita yang ditulis Anggrek sejak tiga bulan terakhir.
“Pusing, Om. Nggak ada kemajuan.” Anggrek nyengir.
Aku tertawa. Nathan dan Rosie ikut tersenyum.
00.00.04, timer itu terus berdetak.
“Ah-ya, aku ternyata tidak bisa ikut, Tegar. Rosie yang akan menemani ujian sekolah Sakura bulan depan di Jakarta. Aku harus menemani Clarice,” Nathan teringat sesuatu.
“Clarice? Dia datang ke Lombok?”
00.00.03.
“Clarice justru sudah di Lombok, mau riset. Sekarang juga sedang di Jimbaran, terpisah beberapa meja, berkumpul dengan teman satu foundation - nya, ia bilang mau mampir menyapamu lewat streaming ini, ah-itu dia. CLARICE!” Rosie yang menjawab, berseru memanggil. Menunjuk seseorang yang mendekati meja makan. Kamera statis di atas tripod tidak menangkap orang yang mendekat, tapi aku tahu, bisa membayangkan wajah dan postur tubuhnya. Yang tertangkap di kamera hanya wajah Nathan, Rosie, dan Anggrek. Keramaian Jimbaran terlihat di belakang mereka. Gerakan tubuh Sakura dan Jasmine semakin dekat, terlihat semakin detail.
00.00.02.
“Selamat malam, Tegar.” Suara wanita bule itu terdengar mantap. Intonasi melayunya lumayan. Clarice teman lama kami. Anak-anak memanggilnya Bibi Clare. Peneliti biologi dari Sydney. Sakura paling suka dengan Bibi yang satu ini, favoritnya malah. Bagaimana tidak, kalau sedang melakukan riset, Bibi Clare suka mengajak mereka. Wuih, itu berarti berkenalan dengan semua peralatan canggih. Termasuk pesawat udara yang bisa mendarat di air yang sering disewa Bibi Clare. Juga helikopter. Teropong bintang hebat. Kacamata malam seperti milik tentara. Plus bonus, cokelat. Hanya Rosie yang tidak suka lihat anak-anaknya ikut Clarice ke mana-mana. Itu pun karena cokelat, “Giginya! Giginya!” Rosie sering mengingatkan Clarice. Dan Clarice hanya tertawa, balas berteriak mengingatkan anak-anak. “Awas ada Ibu! Awas ada Ibu!"
“Ibu, Sakura bawa hadiah paling spesial,” Sakura dan Jasmine menyeruak, memotong sapa hangat Bibi Clare.
00.00.01.
Semua menoleh ke Sakura dan Jasmine.
“SURPRISE!” Sakura menyenggol Jasmine untuk menjulurkan mawar biru itu bersama-sama. Jasmine buru-buru mengulurkan tangannya. Sepuluh tangkai.
Sepuluh tangkai mawar biru.
Rosie paling suka warna biru. Rosie paling suka bunga. Rosie paling suka mawar, sesuai dengan namanya. Dan bunga mawar biru sungguh bukan bunga biasa. Kombinasi yang hebat. Kali ini, aku tidak membohongi Sakura. Sakura saja harus mengacak-ngacak web-site selama seminggu untuk mendapatkan kembang itu, dikirimkan khusus dari Batu, Malang.
Tetapi ya Tuhan, orang-orang jahat itu hanya butuh waktu satu detik untuk mengacak-acak seluruh kebahagiaan Rosie. Mengacak-acak semuanya.
00.00.00.
Timer bom itu sempurna menyentuh angka nol. Dalam gerakan pelan yang menyakitkan, dalam gerakan lambat yang mengiris hati, aku harus menjadi saksi utuh seluruh kejadian itu. Sebelum Rosie terharu menerima tangkai bunga, sebelum Nathan mengacak bangga rambut Sakura dan Jasmine, terdengar dentuman keras. Kamera di atas tripod mendadak bergoyang. Karut-marut gambar terlihat. Potongan orang berlarian. Teriakan-teriakan. Gelap. Layar 29 inci yang tergantung di dinding ruang kerjaku gelap. Dan sedetik kemudian muncul tulisan, error connection.
Aku terhenyak, terkesiap. Loncat berdiri. Ada apa? ADA APA? Sial, kakiku tersangkut di kursi, aku terjerembab di karpet tebal.
Ya Tuhan, apa yang telah terjadi di sana?
***
2.BOM JIMBARAN
Sakura juga terjerembab.
Sepuluh tangkai mawar biru itu terlepas dari tangan Jasmine. Berhamburan.
Menyusul suara ledakan kencang itu, asap hitam mengepul tiga meja dari mereka. Dengan kekuatan massa kali kecepatan cahaya dikuadratkan bom itu meledak. Partikel-partikel atom bertabrakan. Bertabrakan lagi. Lagi. Dan lagi. Partikel itu kecil saja. Tetapi karena tabrakan itu terjadi beruntun jutaan kali, dengan kecepatan memedihkan mata, maka ledakan yang dihasilkan sungguh memancarkan aura kematian mengerikan. Menghajar apa saja yang ada di sekitarnya.
Potongan tubuh, bercampur potongan meja kayu yang merekah, berterbangan.
Rosie refleks memeluk Anggrek di sebelahnya, melindungi. Nathan menyambar kursi bayi Lili, tubuhnya berusaha menjadi tameng dari segala benda yang mendadak terlemparkan ke arah mereka seperti ciprat kembang api. Dan sepotong kaki meja terbang menghantam kepala Nathan. Kursi bayi itu terguling bersamaan dengan tubuh Nathan yang bagai pangkal batang pohon kelapa tua dimakan rayap, berdebam roboh.
Jasmine yang tadi termangu mendengar suara ledakan yang membuncah telinga demi melihat Lili terlempar sontak berteriak parau, kalap melompat, berusaha menarik tubuh adiknya yang terlempar di atas pasir. Rosie merangkak membantu. Anggrek gemetar memeluk lutut. Sakura gemetar dalam pelukan Clarice. Semua ini benar-benar menakutkan. Hiruk-pikuk. Pekikan-pekikan.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Sekejap berlalu.
Sepuluh detik yang menikam.
Sepuluh detik yang menghabisi kebahagiaan malam itu.
Rangkakan Rosie terhenti. Berganti teriakan. Teriakan sendu. Lihatlah di atas hamparan pasir lembut Pantai Jimbaran, Nathan, tergolek dengan kepala bersimbah darah.
Jimbaran, dalam sekejap dari keriangan antarbangsa berubah menjadi kesedihan tak terhingga. Awan hitam seolah menggantung di langit-langit malam. Mengusir pesona purnama bundar di angkasa dan ribuan lampu yang menyala indah di sepanjang tubir pantai. Mengusir pesona ribuan formasi bintang-gemintang.
Jimbaran, malam itu sungguh mengambil semua kebahagian keluarga Rosie.
Di Jakarta, seribu mil dari tempat kejadian, aku buru-buru bangkit dari jatuh. Menyambar telepon genggam. Gemetar menekan tombol phone-book. “Rosie…. R…. R….” Perintah binari dikirimkan melalu satelit. Melesat melalui menara BTS terdekat, menghujam ke atas, meliuk melalui titik-titik transmisi satelit, kemudian dilemparkan ke BTS Pantai Jimbaran. Mencari di mana pun telepon genggam yang hendak kutelepon itu berlokasi. Perintah binari itu kembali dalam hitungan seperseribu detik, tidak aktif. Dering putus-putus memenuhi telinga. Telepon genggam Rosie tidak bisa dihubungi.
“Kadek, Kadek, K….” Mendesis menyebutkan nama manajer Kafe Sea-fud tempat mereka makan malam. Percuma menelepon Nathan, pasti telepon genggamnya juga dimatikan seperti milik Rosie. Mereka tidak akan menerima telepon di saat-saat bahagia acara ulang tahun pernikahan.
Aku gemetar mendengar nada sambung. Tegang. Mengusap dahi yang berkeringat, padahal AC sentral di-setting 16 derajat Celcius.
Tiga kali nada panggil. Tetap tidak diangkat.
Lima kali. Please. Angkatlah. Apa yang sesungguhnya terjadi di sana.
Tujuh kali. “TEGAR! BOM! ADA BOM!” Suara Kadek terdengar panik. Tanpa salam. Tanpa prolog. Apalagi tawa khasnya yang riang.
“BOM?” Aku termangu. Telepon genggam itu nyaris terlepas dari genggaman. “Rosie! Rosie ada di sana, Kadek. Bagaimana mereka?” Berteriak. Suaraku bergetar cemas.
“Tiang belum tahu, Tegar. Semuanya kacau, semuanya berlarian.” Kadek tidak kalah kerasnya berteriak, berusaha meningkahi suara hingar-bingar yang terdengar dari speaker telepon genggam.
“Rosie… Keluarga Rosie bagaimana?”
“Tiang belum tahu.” Kadek tersengal.
“Kau cari di mana dia sekarang, Kadek! Kau,“
Tut! Tut! Tut! Hubungan terputus.
Astaga! Aku hampir membanting telepon genggam, memaki jaringan telepon selular, selalu putus dalam situasi genting. Gemetar menekan kembali nomor Kadek. Nada sibuk. Sibuk. Dan sibuk. Aku menatap layar telepon genggam dengan perasaan jengkel. Putus asa. Hingga esok, jaringan telepon genggam menuju Jimbaran over-loaded, seratus kali lipat. Dan hatiku saat ini juga sedang seratus kali lipat paniknya.
Apa yang terjadi dengan Rosie? Apa ia selamat? Anggrek, Sakura, Jasmine, Lili, Nathan? Clarice? Aku gemetar meletakkan telepon genggam. Berdiri. Menelan ludah. Mengusap wajah. Berhitung cepat dengan situasi. Baiklah, tanpa pikir panjang lagi langsung melesat menuju pintu ruangan. Tanpa perlu mematikan televisi layar lebar yang menyisakan gambar semut, error. Tanpa perlu menyambar jas di sandaran kursi, apalagi membereskan meja yang dipenuhi berkas berantakan.
Berlari-lari di sepanjang koridor. Hampir bertabrakan dengan rekan kerja, Frans, Manajer Portfolio Obligasi. “Lu mau ke mana, Priend!” la basa-basi menyapa.
Aku melambaikan tangan tidak menjawab. Bergegas.
“Bukankah baru besok juga lu nikah? Sekar belum nyuruh-nyuruh lu pulang lebih cepat, kan? Wah, kalau iya, lu alamat bakal ikut PSSI, Persatuan Suami Sayang Istri,”
Aku menghela napas, tidak sempat mendengarkan olok-oloknya. Tak sabar menekan tombol lift berkali-kali. Melompat masuk. Menuju basement. Tersengal melepas dasi sambil memandang wajah di dinding lift yang dibuat bak cermin.
Aku harus ke Bali. Malam ini juga. Aku harus memastikan. Harus melihat langsung. Aku mengusap wajah. Lihatlah, wajahku terlihat tegang sekali. Tidak pernah aku secemas ini. Pria berumur tiga puluh lima tahun yang selama ini matang menyikapi banyak masalah, mapan dalam karir, tidak terbayangkan mendesah berkali-kali memandangi wajah sendiri di cermin lift. Mendesah menyebut nama Rosie dan anak-anaknya.
Aku berlari secepat mungkin di pelataran parkir. Melajukan mobilku menuju bandara secepat yang bisa kulakukan. Menerabas satpam parkiran yang berteriak, “Mas Tegar, kartu parkirnya mana?” Terhambat di jalanan protokol yang macet. Mendesis tidak sabaran. Lantas akhirnya melesat di jalanan tol. Zig- zag. Please, semoga masih ada kursi kosong. Berusaha tiba di bandara sebelum jadwal penerbangan terakhir ke Bali.
Tentu saja masih ada, minggu-minggu ini penerbangan low-session. Aku masih mendapatkan satu kursi di sebuah maskapai penerbangan milik negara tetangga yang tarifnya hanya setengah dari maskapai penerbangan nasional. Akulah orang pertama yang meluncur ke Bali malam ini setelah mengetahui kejadian barusan. Mengalahkan kecepatan reporter stasiun televisi nasional.
Pukul 20.00. Seharusnya saat ini menjadi waktu-waktu yang hebat bagi mereka. Membongkar kepiting besar, itu tugas Sakura. Saling melempari potongan timun dan tomat. Bergurau. Tertawa. Dan aku seolah-olah ikut dalam makan malam itu. Bahkan Kadek selalu menyiapkan kursi untukku di sana. Kursi kosong. Menyiapkan piring dan gelas kosong, “Anggap saja kau ikut, bukan?” Itu gurau Kadek dua tahun silam sejak kami mulai menggunakan teknologi canggih tersebut.
Pukul 20.15. Ya Tuhan, pesawat ini rasa-rasanya merangkak seperti penyu. Tidak bisakah ia terbang lebih cepat, tiba di Bali hanya dalam hitungan menit? Atau bila perlu tiba hanya dalam hitungan detik. Aku hendak menyalakan telepon genggam, rasa penasaran membuatku tidak sabar ingin menelepon Kadek. Menelan ludah. Itu tidak mungkin kulakukan. Terlalu membahayakan penerbangan ini.
Pukul 20.30. Aku menatap resah wajah-wajah penumpang lain. Wajah-wajah yang sebaliknya terlihat rileks. Senang. Satu-dua dari tampilannya mungkin sedang melakukan perjalanan bisnis rutin. Lebih banyak lagi yang ingin menghabiskan akhir pekan. Suka-ria berbincang dengan teman sebelah kursi. Tidak tahukah mereka apa yang baru saja terjadi di Bali? Apakah mereka masih riang setelah tiba di bandara nanti dan tahu beritanya? Aku mengusap wajah. Semoga Rosie baik-baik saja. Tetapi kamera itu terpental, mati, gelap total.
Pukul 21.00. Seorang pramugari tergopoh-gopoh lari ke ruang pilot. Melintas di kursi depan. Pramugari itu keluar lagi dari ruangan pilot dengan muka tegang. Itu berita pertama yang diterima sistem penerbangan yang menuju dan meninggalkan Bali. Pesannya pendek saja: Waspada. Semuanya siaga total.
Di Bandara Ngurah-Rai, kesibukan segera meningkat tajam. Puluhan petugas dan anjing pelacak dikerahkan. Tak ada yang tahu, boleh jadi masih ada bom yang diletakkan di tempat lain. Bandara menjadi lokasi menarik, bukan?
Pukul 21.15. Aku mengusap wajah untuk kesekian kali. Tak sabaran melihat jam di pergelangan tangan. Resah melihat gelap di luar jendela pesawat. Hanya hamparan lampu-lampu perkotaan kecil yang terlihat. Terlihat bagai kunang- kunang dari ketinggian ini. Aku mengusap tengkuk yang tegang. Jasmine paling suka melihat kunang-kunang. Malam-malam, sering menggendong Lili di halaman resor yang lanskap-nya sengaja dibuat seperti hutan kecil. Mengajak Lili berbincang, “Lili, ada kunang-kunang. Lihat! Lihat!” Menunjuk-nunjuk. Lili yang baru setahun hanya menguap. Mengantuk. Jasmine tertawa. Ia akan menggerak-gerakkan badan. Membuat Lili nyaman.
Pukul 21.30. Akhirnya “pesawat penyu” ini bersiap-siap mendarat.
Aku menelan ludah. Tidak. Semuanya pasti baik-baik saja.
Bergegas turun. Lari di anak tangga. Membuat penumpang lain mengomel. Lari juga di pelataran bandara. Menerobos pintu keluar. Dan kecepatanku terhambat. Menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Ke mana semua taksi, kendaraan umum, dan segala apa pun bentuknya yang bisa digunakan menuju Jimbaran dari bandara? KE MANA? Lobi bandara penuh oleh calon penumpang. Bandara Ngurah-Rai mendadak berubah seperti pasar. Aku berlari-lari di parkiran bandara. Mengumpat. Bertabrakan dua-tiga kali dengan rombongan turis yang bergegas. Wajah-wajah panik.
“NO! We must go back, NOW!” Membujuk.
“Mom, we just one day here.” Merajuk.
“More than 55 bodies has been found, My Dear. We must go home.”
Aku terperangah. Menelan ludah. Lututku lemas menangkap selintas percakapan seorang ibu dengan anak gadis tanggungnya. Semua orang mendesiskan kejadian barusan. Tidak ada yang tahu persis. Maka berterbanganlah kabar buruk. Pembicaraan kencang lainnya seorang gadis dengan pasangannya yang bergegas turun dari taksi. 40? 60? Ya Tuhan, sebanyak itukah? Tersadarkan. Taksi. Bergegas hendak masuk taksi yang merapat ke lobi, menggantikan pasangan yang baru turun. Sialan. Ada yang mendahuluiku. Aku hampir berteriak marah. Ke mana pula semua orang ini bergegas hendak pergi? Rosie-ku jauh lebih penting.
Sebelum aku benar-benar ingin berteriak, ada yang lebih dulu memanggil namaku. Aku menoleh. Motor besar itu mendekat, derum suaranya terdengar bertenaga. Lincah menyelinap di antara padatnya kendaraan.
“Mas Tegar baru tiba?”
“Made,” Aku mendesis dengan antusiasme meluap, tanpa banyak bicara langsung loncat ke jok belakang, “Jimbaran! Segera, Made!”
Made menoleh bingung.
“Ayo bergegas, kita ke Jimbaran sekarang.”
“Aduh, bom-nya di sana, Mas. Tiang takut ke sana.”
“SEGERA!” Aku mencengkeram kemeja Made, memaksa.
Made, kenalanku sejak mahasiswa bekerja menjadi guide, mengurus perjalanan wisata di Bali itu menatap bingung, setengah takut, setengah entahlah.
“Rosie di sana, Made. Rosie dan anak-anaknya. Kau antar aku ke sana atau aku sendiri yang merampas motor kau ini.” Aku menyergah.
Demi mendengar nama Rosie, mencerna sejenak, mulut Made yang keberatan segera tertutup. Bergumam cemas, dan tanpa banyak bicara lagi ia menekan pedal gas dalam-dalam. Motor gede itu meraung di parkiran bandara. Memekakkan telinga. Tetapi tidak ada yang peduli. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Motor itu melesat cepat di jalanan yang tiba-tiba sibuk menuju Jimbaran. Aku tahu, Made sama cemasnya denganku. Bisnis guide wisata Made di Pantai Kuta banyak dibantu Nathan dan Rosie. Bagi Made, keluarga itu juga penting.
Lima belas menit yang memedihkan mata, berkendara tanpa helm, berlalu.
Aku terkesiap. Lututku lemas. Persis tiga jam tiga puluh menit sejak bom itu meledak, akhirnya aku tiba di lokasi. Dan saat tiba di parkiran Jimbaran, di depan jejeran bangunan kafe, lokasi yang lazimnya selalu ramai oleh turis-turis yang berlalu-lalang, sekarang terlihat seperti bekas arena pertempuran. Senyap. Menyedihkan. Seperti tidak ada siapa-siapa di sana, meskipun banyak orang berlalu-lalang. Hening, meskipun lengkingan sirene mobil terdengar memekakkan telinga.
Mobil-mobil ambulans melesat keluar-masuk membawa korban. Petugas berseragam putih terlihat cemong oleh merahnya darah. Mobil-mobil pemadam kebakaran berjejer di mulut parkiran kafe, berusaha memadamkan kebakaran. Mobil-mobil polisi melintang di sana-sini. Pita kuning dibentangkan. Petugas sibuk menghalau orang-orang yang hendak mendekat. Mengacungkan pentungan pada penonton yang satu-dua berebut memotret lokasi kejadian.
Aku nenatap semua pemandangan ini.
Aku hampir jatuh terduduk di atas gundukan pasir.
Made yang berdiri di sebelahku menghela napas. “Ibu Rosie benar ada di sini, Mas Tegar?” Bertanya amat cemas, memastikan.
Aku mengangguk. Ya, Rosie, Nathan, dan anak-anaknya ada di sana ketika bom itu meledak, persis di dekat tempat yang sekarang remuk. Meja-kursi tinggal puing. Kaca kafe berguguran. Lubang hitam besar di hamparan pasir terlihat menganga dari kejauhan.
“Aduh….” Made mengeluh dalam.
“Lebih dari seratus korban meninggal sudah ditemukan. Puluhan luka-luka parah. Sekali lagi Bali berduka.” Suara siaran langsung itu terdengar samar- samar. Aku mendengus melihat reporternya. Omong-kosong. Mereka memang memasang wajah sok-bersimpati saat menyiarkannya, tapi mereka sesungguhnya senang dengan berita hebat ini, berebut menayangkannya pertama-kali. Berebut menjadi reporter yang meliput.
Seorang petugas mendorongku yang terlalu dekat dengan police line. Aku bergeming. Menatap kosong ke depan. Made berbisik. Menarikku sebelum petugas itu menggunakan pentungannya agar aku menyingkir. Dua kantong mayat digotong. Kantong-kantong itu berukuran kecil. Pintu ambulans berdebam terbuka. Aku menggigit bibir. Ya Tuhan, jangan sedikit pun pikiran buruk itu melintas. Jangan sedikit pun. Aku mohon. Aku sungguh tak kuasa membayangkannya. Anggrek? Sakura? Jasmine? Lili?
Jangan biarkan pikiran buruk itu sedikit pun melintas.
***
Itulah secuil kepingan momen dari Bab 1 dan Bab 2, yang membuat terinspirasi membuat kisah inspiratif berikutnya berjudul “Hari Raya”.
Belajar Menulis itu Asyik
Bukan membuat cerita fiksi,
tetapi gaya bercerita Kisah Nyata
yang sama dengan fiksi.
Belajar Menulis Cerita - Kisah Nyata - rasa Novel
#yukmenulis #yukbelajar #yukberubah
izzuka.com
Namun, dengan membaca buku ini saja tidaklah mungkin serta-merta kita menjadi seorang penulis. Untuk itu, maka dibutuhkan latihan, latihan dan sekali lagi latihan. Bukan saja menjadi penulis, menjadi apapun yang merupakan tujuan keberhasilan seseorang, tentu kita sudah mengetahui semua itu didapat tidak lain tidak bukan dengan latihan. Latihan tanpa guru itu sulit sekali, akan tetapi untuk latihan menulis itu sangat mudah sekali menemukan guru. Siapapun dia bisa menjadi guru. Kok bisa? Iya, hampir setiap orang yang bisa membaca dapat menjadi guru. Mintalah orang-orang itu untuk membaca tulisan kita, lalu dengar komentarnya. Bersiaplah untuk menuai cacian. Jangan tersinggung, pelajari kekurangan kita, insyaallah lambat-laun ada hasilnya.
Buku ini, adalah hasil jerih payah orang banyak dalam waktu yang lama. Bermula dari membuat channel tentang menulis yang diberi nama “Menulis enak, enak dibaca” sejak 12 April 2017. Anggota-anggota channel yang banyak berperan memberi masukan inilah telah ikut meluangkan pikirannya dalam terealisasinya buku ini. Kemudian, ditambah dengan adanya kumpulan kecil santri-santri ponpes di lingkungan terwujudnya buku ini juga telah ikut memberi sumbangsih dan semangat lahirnya bab demi bab. Banyak halangan yang ditemui, terutama dari para santri yang belum pernah sama sekali menyentuh kegiatan menulis. Akan tetapi sebagian dari mereka ada yang terus tetap semangat melakukan latihan-latihan sampai sekarang.
Akhirnya, tuntunan menulis Kisah Nyata Inspiratif ini telah kita coba terapkan pada para santri dalam Komunitas Menulis Santri. Dan, alhamdulillah mereka menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, walaupun banyak dari kalangan mereka bukan dari sekolah umum.
Jazaakumullah khairan ditujukan kepada Al-Ustadz Fauzi Isnaini yang telah membina channel “Menulis enak, enak dibaca”, tentu juga ditujukan kepada anggota channel, anggota kumpulan kecil menulis dan para santri ponpes. Dan, yang terakhir kepada istri dan anak-anak, tanpa adanya mereka tak terbayang akan terselesaikan buku ini, yang terus terang semangat terkadang kendur karena sedikitnya pelaku untuk menjadi penulis.
***
Mau Belajar Menulis Kisah Nyata via daring (online), ini tahapannya, TAP /KETUK >
Atau, follow (mengikuti) postingan Belajar Menulis Kisah Nyata - rasa Novel, TAP /KETUK >
Gabung dalam percakapan