www.izzuka.com

Lampiran - Terpukau

Terpukau

          Ketika aku kelas tiga SMP, aku punya seorang teman, kawan-kawan memanggilnya si H. Dia lelaki berpostur tubuh tinggi semampai. Jika aku mengobrol dengannya, kepalaku musti agak mendongak. Tubuhnya bak peserta lomba atletik di suatu pekan olahraga tingkat nasional. Itu membuat kesan dirinya seorang yang aktif, energik, dan penuh vitalitas. Dia kelas tiga SMP C juga, akan tetapi karena tongkrongannya di atas rata-rata murid SMP, maka jika H memakai celana panjang ia seperti anak SMA, tidak ada SMP-SMPnya sama sekali!

         Rambutnya lurus, tidak berombak sama sekali, tidak kaku, dan rambutnya lemas. Jika ia berpaling, maka rambut itu bergoyang-goyang. Rambut yang seperti itu membuat semakin menarik wajahnya dan memang sejatinya ia mempunyai paras muka yang tampan. Raut mukanya yang begitu menarik itu semakin seakan magnet yang kuat, karena dia memang mudah tersenyum, tertawa, cerah, ceria dan sumringah.

         Dalam hatiku berguman, tentu teman-teman perempuan yang sebaya dengannya sering melirik sembunyi-sembunyi dan menjadi bahan rumpian yang hangat, bahkan panas. O iya, menurutku teman-teman perempuannya semakin "kepincut" dengan dia, karena dia sering memakai sepeda motor tril kemana-mana. Oi, betapa "ngengkeng" nya dia. "Ngengkeng" itu bahasa Bengkulu yang artinya "keren dan gagah".

          Akan tetapi ternyata aku keliru! Mengapa? Kita ikuti saja bab ini, nanti kita akan tahu sendiri.

          Mengapa aku mengetahui sampai sedetail itu? Tentu saja aku tahu, karena temanku itu tinggal satu komplek perumahan denganku, di komplek perumahan Nusa Indah, 3,5 kilometer dari pusat kota Bengkulu. Sehingga, aku sering berjumpa dengannya. Tidak sampai disitu, aku sering bermain dengannya, bermain apa saja.

          Seringnya kami bermain skateboard, dan sepatu roda bersama-sama dengan teman-teman yang lain di jalan raya. Di jalan raya? Ya, memang zaman itu skateboard adalah masih merupakan barang langka, sehingga tidak ada tempat area bermain mainan itu seperti halnya zaman sekarang. Lebih dari itu,  aku bahkan pernah bermain skateboard di lapangan terbang Padang Kemiling!

          Beberapa waktu yang lalu, bapak-ibuku pulang dari berpergian ke negeri tetangga. Mereka membawa oleh-oleh yang banyak sekali. Ada tas sekolah, sepatu merek ternama, buku-buku, alat-alat tulis, dan lain-lain. Wow, banyak sekali. Aku senang sekali.

          Dan, yang paling membuat aku berbinar adalah buah tangan berupa skateboard dan jaket ber "hoodie" terbuat dari bahan parasit. Hoodie pada dasarnya sweater dengan topi. Kebanyakan didesain dengan saku di depan dan tali untuk menyesuaikan topinya. Hoodie bisa dibuka di depan dengan kancing atau reseleting. Jaket hoodieku lain dari pada yang lain, karena biasanya berbahan kaos sweater, ini berbahan parasit. Itu lho, bahan yang dipakai untuk payungnya terjun payung. Keren bukan? Dan, tentu skateboard dan jaket hoodie parasit itu yang paling aku sayangi dan banggakan. Apalagi jaket hoodie parasit itu bercorak warna persis seperti bendera salah satu negara super power waktu itu, lengkap dengan belang-belang merah, putih, biru dan corak bintang-bintang pada salah satu sudutnya. Esok lusa setelah aku dewasa nanti, baru aku tahu kalau kebanggaan terhadap negara super power itu adalah suatu kehinaan. Skateboard dan jaket hoodie parasit seperti itu adalah barang langka di kotaku ini.

          "Woi! Ngengkeng nian Fulan pakai jaketnya yang baru," teriak salah satu temanku satu klub sepatu roda, si K di suatu momen latihan bersama.

          Klub sepatu roda? Betul, aku dan teman-temanku SMP C membentuk suatu kumpulan kegiatan untuk bermain latihan sepatu roda bersama-sama. Kami berlatih setiap Sabtu sore dan Minggu pagi di jalan raya pinggir alun-alun kota. Terkadang di lapangan tenis dan basket yang terletak di alun-alun juga. Nama klubnya "Joyce Circle", guru bahasa Inggris kami yang memberi nama. Artinya "Lingkaran Kegembiraan". Kami juga punya seragam kaos lengan panjang bertuliskan nama klub tersebut. Kaos itu yang melindungi kulit kami ketika terjatuh menghantam kerasnya aspal jalan sewaktu latihan.

          Pada suatu hari Minggu. Mentari baru saja keluar dari persembunyiannya. Embunpun masih bertengger di pucuk-pucuk daun. Sinar matahari panasnya belum mampu menguapkan embun-embun tersebut. Kami klub Joyce Circle telah bergerak ke alun-alun kota. Puluhan pasukan bersepatu roda berkumpul di jalan raya tepi alun-alun. Sejatinya anggota klub hanya belasan anak-anak SMP C, namun dari belasan tersebut mengajak adik-adik, saudara-saudara mereka. Ada yang masih seusia SD, ada pula yang seusia SMA. Maka, jadilah anggota klub beranak-pinak menjadi puluhan. Kota Bengkulu kala itu sangat jarang kendaraan yang hilir mudik, sehingga kami leluasa bermain sepatu roda dan skateboard di jalan raya.

          "Aih, keren sekali jaketnya," H juga berkomentar kagum, ketika melihatku.

          "Bolehlah ambo cubo jaket kau?" bujuk H sambil tersenyum ramah.

           Aku lepas jaket kesayanganku, serta merta aku berikan kepadanya. Aku juga ingin lihat, bagaimana jika H ini memakai jaketku. Orangnya sudah keren, pakai jaket cogah pula.

          "Wau, ngengkeng nian kau," seruku terpesona.

          Tak berapa lama, H pun ikut bermain latihan sepatu roda dengan menggunakan jaketku. Semua temanku satu klub melihatnya takjub.

          Ketika matahari semakin matang dan hampir tegak lurus di atas kepala-kepala kami, maka semua anggota klub bersiap untuk menyelesaikan latihannya dan pulang.

          "Fulan, ambo pinjam jaket kau ini ya?" H rupanya masih ingin memakainya.

          Aku tahu, dia akan pulang menaiki sepeda motor tril nya. Tentu gagah nian jika dia memakai jaket itu sembari mengendarai sepeda motornya. Aku juga senang jika melihat H seperti itu.

          Mengapa tidak aku saja? Mana aku punya sepeda motor? Apalagi tril. Bapakku tak pernah ingin membelikan aku sepeda motor, maka aku beli pakai tabunganku sendiri: sepeda balap.

          Maka, biarlah untuk beberapa waktu jaketku dipinjam H. Aku ikut bahagia, jika temanku senang.

          Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan H di komplek perumahan kami. Kami berjumpa di jalan depan rumahnya.

          "Hei, Fulan ... jaket kau masih ambo pinjam ya ...," H menyapa cerah kepadaku.

          "O iyo, tak apolah, pakailah dulu," jawabku menenangkan sambil tersenyum.

          "Ado sesuatu lagi endak ambo katakan ... eeeng ...," H ingin menyampaikan sesuatu lagi, tapi ragu-ragu. Tepatnya, raut wajahnya menunjukkan keengganan.

          "Apo dio, kecek lah, tak usah tak enak ... lha kito khan berteman," aku mendorong dia untuk segera sampaikan apa yang mau dikatakan.

          "Ambo ko butuh uang, ado keperluan mendesak, kalo bulih ambo ndak pinjam uang samo kau ...," akhirnya H sampaikan juga hajat keperluannya kepadaku.

          Hah! Pinjam uang? Aku selama ini tidak pernah dipinjam uangku oleh teman-teman. Tapi, baru sekarang ada teman mau pinjam uang. Seperti orang dewasa saja pinjam uang untuk nafkah. Kami masih usia remaja waktu itu jika dikatakan tidak pernah, ya jaranglah pinjam-pinjam uang. Uangku juga paling seberapa? Paling untuk jajan saja.

          Aku lihat mimik wajah H, terlihat raut yang memohon. Sepertinya dia butuh sekali. Untuk apa ya? Masa' orang tuanya tidak memberi uang. Tetapi, karena kesantunan H dalam menyampaikan, maka aku tepis pertanyaan-pertanyaan dalam benakku itu. Aku kasihan.

          "Kau butuh berapo, H?"

          Lalu, H menyebutkan sejumlah nilai yang cukup besar. Uang sebanyak itu, melebihi uang jajanku. Tetapi, sebentar aku ingat sesuatu. Aku sering menabung uangku, jika Bapak memberiku ketika Bapak akan dinas keluar kota. Baiklah, akan aku ambil dulu ke rumah.

          "Ambo ambik dulu ke rumah ya ...," tanpa pikir panjang akupun pulang.

          H mengangguk lega, dan tersenyum. Tak berapa lama aku sudah kembali dengan uang-uang itu.

          Selang waktu beberapa lama, bahkan telah lama sekali, aku mulai merasa aneh dengan H ini. Setiap ada kemungkinan bertemu, berpapasan, dia selalu menghindariku. Ada apa? Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Dan lagi, aku baru ingat,  jaket hoodie parasitku belum dikembalikan kepadaku. Aku sampai lupa, berarti memang sudah lama sekali. Belum lagi, hutang yang cukup mengeruk tandas tabungankupun belum dibayar olehnya.

          Apa karena itu semua? Ya pasti, karena itu. Terakhir, terjadi perbincangan dengan H, ya soal itu. Lalu bagaimana ya? Bagaimanalah aku mau menagih jaketku dan uangku, kalau akan terjadi berpapasan saja ia menghindar. Padahal itu jaket kesayanganku, yang mungkin - untuk saat itu - belum ada yang jual di negeri Indonesia. Tapi, bukankah pertemanan itu lebih utama? Jadi bagaimana ini? Kenapa aku jadi pusing sendiri? Ah, sudahlah biarlah pikirku. Apalah artinya barang-barang mati itu? Barang hidup lebih berarti. Melihat teman senang itu lebih membahagiakan. Mungkin H masih suka pakai jaketku. Aku dengar dari kawan-kawanku, H sering masih memakai jaketku ketika ia menaiki motor trilnya. Ya sudah.

          Lalu uangku bagaimana? Haruskah aku tagih? Tetapi bertemu saja sulit, bagaimanalah menagih? Mungkin H belum ada uang untuk membayar, kasihan juga. Tapi, motor tril saja punya, masa bayar hutang yang nilainya tidak sebesar harga motor tril tidak bisa? Aku jadi berpikir kembali, dan bolak-balik pertanyaan-pertanyaan bertalu-talu di kepalaku. Duh, pening aku.

          Daripada aku puyeng, sudahlah aku lupakan jaketku, uangku berikut yang pinjam. Aku lupakan H saja. Lagipula dia tak mau bertemu denganku. Jadi? Anggap saja ia tidak ada. Selesai. Plong. Tamat.

          Sabtu sore. Jadwal klub Joyce Circle latihan seperti biasanya. Setiap Sabtu sore kami tidak latihan di jalan raya pinggir alun-alun, karena kalau sore berseliweran mobil, sepeda motor, delman, dan kendaraan-kendaraan lainnya. Tidak seperti Minggu pagi, jalan raya sekitar alun-alun lengang. Esok lusa akan ada istilah CFD yaitu Car Free Day, setiap kota di Indonesia pada hari Minggu pagi daerah sekitar alun-alun dibebaskan dari kendaraan bermotor karena untuk kegiatan berolah raga. Mungkin, kamilah cikal bakalnya.

          Maka, kami latihan di halaman gudang kantor bapaknya K. Halaman itu luas. Sebagian permukaan halamannya di plaster, cukup luas untuk latihan kami.

          Di tengah-tengah latihan, kami letih. Kami istirahat duduk-duduk, jongkok-jongkok di atas permukaan plaster di bawah rindangnya pepohonan yang tumbuh di pinggir halaman berplaster itu.

         "Fulan, ambo sudah lamo idak liyek jaket kau yang bagus itu, biaso kau pakai latihan ...," K membuka pembicaraan di sela-sela istirahat kami.

          Aku terkesima dengan perkataan K. Aku diam saja. Aku ingat, bahwa aku akan melupakannya. Aku hanya tersenyum tipis sebagai responku.

          "Iyo, mano jaket kau Fulan? Jaket bagus janganlah cuma disimpan rapi dalam lemari. Dipakai oi! Rezeki itu berasa dinikmati kalau dipakai, bukan disimpan," S yang berbadan besar bertanya dan menimpali perkataan K.

          Teman-teman yang lainpun akhirnya, perhatian mereka terpusat kepada aku. Mereka serempak menatapku. Menunggu jawaban.

           Aku tetap diam. Aku ingat janjiku pada diriku. Aku telah melupakan jaketku, uangku dan H.

          "Woi! Fulan, jangan diam ajo! Kalau sudah tak suka jaket itu kasihlah ke ambo ...he he," canda N, adiknya K.

          Akhirnya teman-teman yang lainpun mendesak-desak agar aku menjawab. Aduh, bagaimana ini?

          "Jaket itu sudah ambo hibahkan," jawabku singkat, hanya sekedar untuk menghindar desakan pertanyaan teman-teman.

          "Dikasih ke siapo!!?" K penasaran, mungkin dia berpikir mengapa tidak dikasih ke dia saja, siapapun pasti mau diberi jaket itu.

          Wah gawat, aku menjawab untuk menghindar malah semakin runyam urusannya. Aku salah jawab rupanya. Bisa rame urusannya ini.

          "Iyo siapo !?" S malah melotot.

          "H," jawabku lirih dan datar. Setelah itu aku menunduk. Aku tidak ingin teman-teman melihat perubahan wajahku.

          Teman-teman melihat keanehan diriku. Tentu saja aneh, mengapa pula aku menunduk.

          "Kau kenapo?" kali ini N yang bertanya. Tak berapa lama dia pegang dahiku, ia angkat kepalaku. Maka terlihatlah wajahku yang seakan ingin menangis. Semua temanku menatapku.

          "Iko pasti ado yang idak beres," tebak S. "Ambo ingek beberapo lamo yang lalu H dipinjami jaket oleh Fulan," sambungnya.

          "Nah, ambo tahu ... Pasti belum dikembalikan samo H. Ambo liyek dio sering pakai jaket itu kalo naik motor trilnyo. Lagaknyo ngengkeng nian, padahal jaket pinjam. Lah idak tahu malu tu orang! Ambo tahu H orangnya cemmano, ya bgitulah!" K mengacung-acungkan telunjuknya mulai membuat suasana menghangat.

          "Kurang ajar tu H, tampang bulih ganteng tapi hati busuk!" S memukul-mukul tinju kanannya pada telapak tangan kirinya. Panas sudah.

          Celaka, ini pasti bakal rusuh! Aku memang anak yang tidak suka keributan, mana lagi badanku kerempeng. Dan, teman-teman tahu itu. Sepertinya memang teman-teman telah memendam kedengkian dan kebencian kepada H. Apa karena dia rupawan, sedang kami ini jelek-jelek wajahnya? Nah lho.

          Esok lusa ketika dewasa baru aku tahu dari guruku, setiap manusia punya rasa dengki, dan itu tak bisa hilang dari hatinya. Yang bisa dilakukan adalah mengendalikan, memendam rasa iri tersebut agar tidak keluar, atau diarahkan kepada kebaikan.

          Entah apa yang akan terjadi, setelah sore itu. Aku hanya melihat sisi baiknya saja. Teman-teman adalah teman-temanku yang baik. Mereka tidak rela aku dijatuhkan, ditekan dan dilecehkan. Padahal, aku sendiri sudah tidak memasalahkan. Dan, firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang heboh terkait kehormatan seorang teman.

          Bahkan, teman-temanku akhirnya tahu juga kalau H meminjam uangku cukup banyak. H sampai saat ini belum juga mengembalikan uang itu. Teman-temanku semakin gregetan dan gemas terhadap H.

          Sore yang redup. Matahari mulai memadamkan cahayanya sedikit demi sedikit. Kami melintas di daerah Anggut Atas, kota Bengkulu. Aku dan S akan menemui seseorang di komplek perumahan Tembok Baru. S di depan mengemudikan sepeda motor bebeknya, aku dibonceng. Kami menyusuri jalan Anggut Atas menurun menuju arah jalan Anggut Bawah.

         Tak berapa lama, sampailah kami di gerbang komplek perumahan Tembok Baru yang jalannya agak menanjak. Komplek perumahan memang posisi letaknya bertengger lebih tinggi dari jalan utama Anggut Bawah.

          Setelah masuk komplek perumahan, di jalan lingkungan, tepat di belokan di depan kami, sekonyong-konyong muncul pula sebuah sepeda motor tril. Eh, ternyata H. Jarak kami sekitar sepelemparan batu. Mungkin 10 meter an.

          Begitu melihat pengendara sepeda motor tril itu si tokoh utama yang sedang hangat dibicarakan oleh teman-temanku akhir-akhir ini, S serta merta memasang raut muka mengeras, rahangnya terlihat berdenyut-denyut, dan matanya memancarkan panasnya api kebencian. Aku dapat merasakan gemuruh perasaan itu, walau aku duduk di belakangnya.

         "H ...," Sarmito berkata lirih sambil memalingkan muka ke kanan agak ke belakang, agar aku mendengar. Ya, aku sudah melihat.

          5 meter lagi, kami akan berpapasan.

          Aku sudah khawatir dan ngeri lihat gestur S. Otot-otot badannya seperti bergemertak. Aku ingat, ketika di halaman kantor bapaknya K, S lah yang mengepal-ngepalkan tinjunya gregetan terhadap H.

          2 meter lagi.

          Aduh, aku tak mau ribut-ribut. Kalau terjadi kelai bagaimana? H santai saja seperti tidak merasa bersalah, bahkan berusaha tersenyum.

          1 meter.

          S melotot, mulutnya mencibir. Wah, apa yang akan dilakukannya?

         "Cuiiih!" sekumpulan cairan berlendir di dalam mulut S dilontarkannya ke jalan aspal lingkungan komplek tepat di depan hadapan H. Ternyata tadi, begitu S melihat H beserta trilnya lepas dari belokan, S punya ide jahil mengumpulkan ludah di mulutnya. Lalu menghina H dengan cara melontarkan cairan itu di hadapannya, di depan matanya.

          Seketika itu, H matanya terbelalak. Dia tak sempat melakukan apa-apa.

          Tak ada sedetik kemudian kami telah berpisah. Aku lihat dari kaca spion sepeda motor, H sempat menoleh ke belakang dengan paras wajah tak berbentuk lagi. Keki, kesal. Campur aduk.

          "Kau telah menghina H, ...," aku mengingatkan S agar tidak seharusnya begitu.

          S malah merespon dengan arogan, "Untung idak wajahnyo yang ambo ludahi!". Ups ....sangar!

          "Biar ajo, orang seperti itu musti dikasih pelajaran. Lagaknyo macam orang cemmano gitu, sombong nian!" tambah S, terlihat wajahnya ditekuk-tekuk. Puas.

          Kabar-kabar perseteruan antara kami dan H semakin menyebar bagaikan api kebakaran di perumahan rakyat miskin dari kayu dan kardus di musim kemarau. Hampir seluruh murid SMP C telah merasakan lidah-lidah apinya. Panas. Merangas. Dan, bahkan telah menjalar ke murid-murid SMA C yang terletak bersebelahan dengan SMP C. Memang kami bersebelahan, hanya saja tanpa pagar. 

          Mengapa sampai menyebar ke murid-murid SMA C? Karena H sendirilah yang menyebarkannya. H punya banyak teman murid-murid SMA C. Dia sering berkunjung ke area sekolah SMA C, yang dapat di akses dengan mudah karena tanpa pagar. Postur tubuh H yang sebaya murid SMA itulah membuat mudah diterima bergaul dengan mereka.

          SMP dan SMA C membara.

          Aku masih ingat, kejadian menggemparkan itu. Pagi itu bukan hari Senin. Karena kami memakai seragam baju putih dan bawahan coklat muda, bawahan spesial SMP C. Karena, jika hari Senin biasa kami memakai seragam baju putih-putih.

          Pagi masih menyisakan dinginnya, ketika kami murid-murid SMP C akan bersiap memulai hari untuk belajar. Lonceng sekolah belum berdentang. Sehingga murid-murid masih banyak di luar kelas, ada yang mengobrol, ada yang baru sampai, sebagian murid ada yang telah berada di dalam kelas, mempersiapkan buku, ada juga yang menyelesaikan PR yang belum selesai dikerjakan tadi malam di rumah. Semua menunggu lonceng dipukul tepat pukul 07.00.

         Tiba-tiba dari arah salah satu kelas, seorang murid berlari menuju kelas yang lain. Aku lihat murid itu adalah H. Ternyata dia meluru menuju kelasnya S. H telah dikuasai dendam kesumat, setelah kejadian menyesakkannya di komplek perumahan Tembok Baru yang lalu. Dendam itu tak tertahankan lagi, ambrol begitu saja, walau masih begitu pagi. Bahkan, masih di dalam lingkungan sekolah SMP C. Hilang akal, emosi jiwa, meledak!

         S sedang berdiri tenang, sambil mengobrol dengan murid yang lain di depan pintu kelasnya.

        H telah mencapai jarak pukul, maka ia mengacungkan jari-jarinya yang telah mengepal kuat. Siap menghantam kepala S. Kepalan itupun melesat, menuju titik bidik yang telah H kunci dengan matanya memerah darah mendidih.

         Bukan S jika tidak merasakan kesiur angin kepalan pukulan yang sampai lebih dulu, sebelum tinju H mennyentuh sedikitpun di permukaan kulit wajahnya. S menggeser kepalanya sedikit. S berhasil mengelak. Tinju H melewati hanya beberapa sentimeter di depan kepala S menebas udara kosong.

         Ternyata S tidak hanya mengelak, bersamaan itu pula S melihat pertahanan H terbuka, ketika meninju udara kosong. Tak tunggu lama S mengangkat kakinya dan menjejakkan ke depan, tepat mendarat dengan mantap pada permukaan kain seragam putih bersih di dada H. 

          H terjengkang, sampai terlontar dari selasar sekolah, terhempas di rerumputan yang masih basah oleh embun pagi. Bagaimana tidak, S yang besar dan tinggi itu memang lawan sebanding dengan H.

          Melihat dirinya di atas angin, S merangsek bak harimau belum sarapan, membela kehormatan temannya, aku. S hendak menyerang H kembali, ketika H berusaha sempoyongan bangkit kembali. Tapi, serangan S tak pernah terjadi.

         Teman-teman SMP lain, yang terkesima menonton di sekitar perkelahian, segera menyadari apa yang telah terjadi. Mereka bergegas memegang bahu, dan tangan S dengan kuat. Mencegah terjadinya perkelahian yang lebih parah lagi. Begitu pula, H yang terjengkang dan telah bangkit dengan susah payah, dipegang beberapa teman yang lain. Semua teman berusaha mencegah, dan memisahkan dua harimau yang sedang menggelegak.

         "Biarkan! Jangan dipisah! Anak iko patut dikasih pelajaran! Dasar perampok!" pekik S sangat kesal, sambil menunjuk-nunjuk H.

          "Apa kau kecek? Perampok?" H menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari cengkeraman teman-teman, ingin menghajar S lagi, tetapi pegangan teman-teman lebih kuat.

          "Sudah, sudah ... iko di dalam sekolah, kalau ketahuan guru, kalian pasti dihukum....cukup!" sahut salah satu teman, mengingatkan.

           S pun tersadar bahwa kejadian baru saja, adalah di dalam linkungan sekolah. S mengendur. Tidak berusaha ingin menyerang kembali. H pun demikian. Akhirnya mereka kembali ke kelas masing-masing. Tanpa penyelesaian. Darah dendam masih bergejolak dan menggelegak di dalam jantung masing-masing.

          Aku mematung, menatap dari jauh di depan kelasku. Kelasku di seberang kelas S, terpisah halaman rerumputan sekolah. Semua gara-gara aku.

          Siangnya, ketika lonceng berdentang tanda saatnya pulang, aku pulang berjalan kaki bersama K. Biasanya, jika aku tak bersepeda, aku dijemput oleh supir kantor bapakku, dengan mobil. Tetapi, ini tidak ada jemputan, mungkin supir kantor sedang sibuk. Jika demikian, biasanya aku menunggu jemputan di rumah K.

         Demikian pula siang ini, jemputan tak terlihat. Akhirnya, aku putuskan untuk pulang bersama K ke rumahnya dengan berjalan kaki. Jaraknya dari sekolah cukup melelahkan betis kaki.

         Siang itu sangat terik matahari menerpa bumi kota Bengkulu. Kami berjalan terengah-engah di atas jalan aspal yang kami telusuri mendaki dengan kemiringan kurang lebih seperti kemiringan atap rumah menuju rumah K. Kami sangat letih, lebih-lebih dengan panas matahari yang menyengat. Kami baru menempuh jalan sekitar sepanjang lapangan bola selepas melewati gerbang sekolah. Di kanan-kiri jalan ada tebing dengan tumbuhan semak-semak. Jalan menanjak itu sekitar dua rumah panjangnya. Setelah itu, jalan agak mendatar. Ketika jalan sudah mulai mendatar kami agak lega dan nafas kami sudah tidak memburu.

           Mendadak, dari balik semak-semak pepohonan keluarlah dua sosok manusia. Satu orang, aku sangat mengenalnya, H, yang tadi pagi terjengkang. Satu lagi bercelana panjang yang belakangan kemudian kami tahu ternyata satu sekolah dengan kami, hanya saja dia sudah tingkat SMA. H menghampiri K dengan cepat, sedang yang satu orang lagi, yang bercelana panjang meluruku. Gerakan kedua manusia tersebut setengah berlari dan melesat sangat cepat.

          "Plak ! plak ! ..." tiba-tiba kudengar suara tamparan. 

          Tak berapa lama, pipiku terasa panas dan pedih. Aku baru sadar kemudian, kalau aku yang ditampar oleh orang yang bercelana panjang itu. 

          Kemudian, kerah bajuku ditarik dan diangkat. 

          Aku tak tahu bagaimana nasib K saat itu, karena aku sedang dalam keadaan terkejut dan "shock" sekali.

          "Awas ya kau macam-macam !!" gertak orang itu dengan biji matanya seakan-akan akan meloncat keluar dari rongga kelopaknya ke arahku.

          Aku tak bisa berbuat apa-apa karena sangat terkejut. Aku juga, bukan anak yang pandai berkelahi waktu itu. Apalagi postur tubuhku kurus, kerempeng. Yang aku rasakan hanya takut dan takut. Aku "mengkeret" seperti baju belum disetrika.

          Setelah itu, manusia-manusia itu pergi.

          Aku dan K akhirnya terburu-buru pulang. Kami takut ada yang menyerang kembali. Karena, jika pun kami pandai berkelahi, kami yang seusia SMP ini bukan lawan yang setara dengan mereka yang dari tinggi badan saja sudah beda jauh.

         Namun, aku heran juga mereka yang dikatakan telah besar dan dewasa itu mengapa tidak malu melawan anak-anak kecil seusia seperti kami ini. Mentang-mentang kami masih SMP, lalu mereka semena-mena. Jika aku jadi mereka, pasti aku tidak melakukan apa yang mereka lakukan, walaupun pasti menang. Hina.

          Kehormatan seseorang itu lebih berharga daripada hanya sekedar terlihat hebat di mata manusia. Kehormatan dan harga diri itu menenangkan. Agaknya seperti itu kata-kata nasehat dari orang-orang tua kita. Bahkan, ketika dewasa nanti, dan aku baru tahu, guru kami berkata, kurang lebih bahwa, janganlah berbuat curang, sekalipun terhadap musuh-musuh kita.

          "Fulan, dipanggil ke kantor!" petugas administrasi sekolah izin masuk ke kelasku kepada guru yang sedang mengajar dan memanggilku.

          Deg! Jantungku serasa melonjak. Pasti, tentang kejadian heboh kemarin.

          Aku berjalan patah-patah. Jantungku masih berdegub keras dan acak. Aku menuju kantor kepala sekolah. 

          Saat aku telah sampai di bawah bingkai pintu ruangan itu, aku melihat telah duduk di sana, di kursi-kursi yang mengelilingi meja rapat guru, Kepala sekolah suster K, K, S, dan H. 

          Mereka semua menatapku.

***

Mau belajar menulis Kisah Nyata via daring (online), ikuti tahapannya, TAP /KETUK > di bawah ini:

Atau, mau belajar menulis Kisah Nyata via luring (offline), beli saja bukunya, TAP /KETUK > di bawah ini:
Buku Menulis
Kisah Inspiratif

rasa Novel - 55k


Mau Belajar Ilmu Syar'i dengan Menuliskannya, mudah, sedikit demi sedikit, dan saban hari, TAP /KETUK > di bawah ini:
WhatsApp Salafy Asyik Belajar dan Menulis

Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Produk

Online Shop
Buku, Peranti belajar,
dan sebagainya



Misi


Fakta
Ciri Khas Artikel



F A Q (Frequently Asked Questions)
Pertanyaan yang sering diajukan

Silahkan chat dengan tim kami Admin akan membalas dalam beberapa menit
Bismillah, Ada yang bisa kami bantu? ...
Mulai chat...