Portal #02 Hari Raya
Kita mundur ke masa lalu Malva 9 tahun yang lalu dulu, dari masa ketika ia masuk IGD rumah sakit di Bandung pada Portal #01 Kandas. Karena di Portal #01 disinggung sedikit tentang masa lalu Malva terbayang saat kelas 4 SD, melihat tetangga teman mainnya, berangkat shalat Jum'at, kenapa dia tak tahu orang Islam mesti shalat Jum'at. Malva merasa belum sempat mengetahui ilmu agama dan mengamalkan, siapkah ia mati?
Baik, kita ikuti kisahnya.
1974, menjelang tengah hari.
Langit lingkungan perumahan Nusa Indah saat itu cerah ceria, menyambut hari. Seakan langit tahu, hari itu adalah hari istimewa. Ya, hari Jum'at, hari Raya mingguan.
Angin semilir membelai-belai pepohonan singkong karet di halaman rumah Malva. Suaranya berbisik-bisik kepada dedaunan. Dedaunan mengangguk-angguk bagaikan mengerti bisikan alam itu.
Malva seperti biasanya, 'asyik' menyuarakan suara mobil sembari menjalankan mobil-mobilan kayu buatannya sendiri di permukaan tanah halaman rumahnya. Bermain selepas pulang sekolah adalah suatu 'kemerdekaan' bagi dirinya dari tekanan-tekanan pelajaran pada pikirannya di sekolah.
Malva dan keluarganya baru saja pindah rumah. Dulu mereka tinggal di rumah tua peninggalan penjajah Inggris di jalan Kebun Ros, di pusat kota Bengkulu. Kini, mereka tinggal di pinggiran kota sekitar 3,5 kilometer dari pusat kota.
Lho, tepian kota namun masih dekat ya?
Kota Bengkulu di tahun-tahun itu, masih merupakan kota kecil, di tepi pantai barat daratan Sumatra. Bahkan, kapal besar tak mampu merapat di pelabuhannya yang kecil dan dangkal kedalaman lautnya.
Halaman rumah Malva luas. Merupakan lapisan hamparan rumput selebar enam meter yang mengelilingi rumahnya. Lapisan terluar adalah pagar bambu utuh tegak berbaris setinggi pintu rumah mengelilingi halaman.
Pagar setinggi itu, nampaknya sengaja dibuat agar Malva tidak 'mblakrak' main sampai keluar halaman rumah. Huh! kesal juga ia rasanya dikekang, ditekan, ini tidak boleh, itu tidak boleh, dan harus ini, harus itu. Ibunya sangat ketat, menjaga diri Malva agar tidak terlalu banyak bermain di luar dengan anak kampung. Bahkan, terkadang ia dibuatkan jadwal harian kegiatan jam per jam, dari pagi sampai malam.
Masih terpatri dalam ingatan Malva, perkataan Ibu, "Anak kampung itu kotor, tidak bersandal, sarungan, dan sering main ke masjid. Sedangkan anak ningrat itu anak baik, resik, 'necis', banyak berada di rumah, dan tidak main ke masjid."
Ningrat? Apa peduliku! Pikir Malva. Orang-orang tua sering aneh-aneh.
Pernah suatu ketika, waktu Malva baru kelas dua Sekolah Dasar, ibunya memberi peraturan layaknya sekolah militer, "Sekarang tidur dulu! Boleh main keluar rumah sore, mulai jam setengah tiga ya!"
Dan, Malva masih ingat sekali siang itu, matanya sulit terpejam.
Selalu terbayang-bayang imajinasinya, menjadi sopir truk mobil-mobilan kayunya. Mulutnya selalu berdengung, bak suara mesin diesel mobil truk betulan.
Malva menarik mobil itu dengan seutas tali. Truk itu melewati tanjakan gundukan pasir, melewati turunan lobang di tanah yang penuh genangan air hujan, terimajinasi dari truk gagah berani mengambil resiko menyebrangi sungai ketika jembatan rusak.
Ketika truk melewati tanjakan dengungannya, makin keras, "Ngeeeengg!!!! Ngeeeeeeeeeng!!" Ketika turunan, "Ciiit, esss ... aaahh, ciitt eesss ... aaahh ...". Betul-betul sulit membedakannya dengan bunyi rem angin asli mobil truk betulan. Iyolah! Heh! logat Malva mulai berubah dari "aku arek Suroboyo" menjadi "Ambo anak Bengkulu".
Imajinasi dan khayalan Malva menggelembung. Membuncah. Dia gelisah. Ia menatap jam dinding. Jam dua siang. Masih setengah jam lagi. Rumah sepi. Suara Ibu tak terdengar lagi. Pasti sudah lelap. Ia pun sudah tak bisa bertahan lagi. Seakan peraturan Ibu belum pernah didengar. Malva menghambur keluar rumah. Mobil-mobilan truk kayu disambarnya.
"Hayooo!!! kapok enggak!!! boleh main jam setengah tiga, jam dua sudah ngilang!!!" Ibu menebaskan sapu lidi ke paha Malva berkali-kali.
"Ampun buuu, ampun buuu....," teriak Malva, lirih menahan pedas pahanua. Bulir-bulir air di matanya tak terbendung. Mengucur deras tiada henti, seiring rasa pedih di pahanya. Suaranya sesenggukan.
Pukulan sapu lidi bertubi-tubi membuat tangis Malva semakin keras, dan tersenggal-senggal. Tak cukup itu saja, Ibu mulai mencubiti pahanya dengan gemas. Akhirnya Malva lari ke sana ke mari, berusaha menyelamatkan dirinya. Akan tetapi Ibu masih gregetan mengejarnya. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
Tidak cukup sampai di situ, hukumanpun berbicara, Malva harus mengepel ruangan-ruangan rumah.
Ibu Malva mendidik, agar ia mau bekerja dan menjadi anak yang tekun yaitu; dengan memberi imbalan permen coklat, asalkan ia mau mengepel ruangan-ruangan rumah bekas milik penjajah bangsa Inggris yang sangat besar-besar dan luas tersebut. Satu ruangan, imbalannya satu permen coklat ukuran tanggung. Namun, karena ini pelanggaran, untuk kali ini mengepel tanpa ada permen coklat. Nasib ya nasib!
"Sreek, sreek, sreek ...," suara sandal dipakai setengah diseret membelah ingatan Malva pada kenangan pedih.
Malva menghentikan permainan truk kayunya. Matanya mengintip di sela-sela pagar bambu. Terlihat bayangan anak sedang berjalan di jalan depan rumahnya. Pandangannya berjalan mengikutinya di antara celah-celah bambu. Ketika sampai di depan gerbang pekarangan rumah dan tinggi gerbang pagar bambu agak rendah, oh ... rupanya si Ato teman Malva, tetangga sebelah. Wajahnya menyala berbinar-binar. Malva anak laki-laki sendiri dalam keluarganya, bakal bermain tidak sendiri lagi. Ato kesini tentu ingin bermain bersamanya. Wah, bakal seru ini!
Tapi, Ato bagaikan kereta api berjalan dengan tetap lajunya melewati depan gerbang halaman rumah Malva tanpa mengindahkannya yang temannya sedang bermain mobil-mobilan truk kayu.
"Woi! endak kemano kau?" lengking Malva dengan logat asli Bengkulu yang kental. Ya, telah dua tahun lewat ia tinggal di kota ini.
"Sholat Jum'at!!!" balas Ato lebih melengking lagi, dan selanjutnya, ia semakin ditelan jarak.
Malva tertegun. Ingin meneriaki Ato kembali. Suaranya seperti duri ikan tersangkut di kerongkongan lehernya. Macet. Ato semakin tenggelam dalam jarak, sosoknya semakin mengecil. Malva menatap Ato yang semakin menjauh. Terpaku.
Dalam tatapan, Malva mengamati Ato, dan saat itulah ia baru menyadari, Ato yang bukan orang Jawa itu memakai sarung, berbaju rapi dan menenteng kopiah yang belum dipakainya. Ada apa? Mengapa Ato tidak berpakaian untuk bermain seperti biasanya? Pakaian Ato seperti orang akan menuju sholat hari Raya Iedul Fithri yang biasa Malva lakukan setahun sekali di kampung mbahnya. Apakah sekarang hari ini hari Raya juga?
"Sholat Jum'at?" pertanyaan itu bertubi-tubi menghujani benak Malva. Kemana gerangan temannya si Ato itu siang-siang begini? Apakah 'sholat Jum'at' itu sama dengan acara hari Raya di hari Jum'at? Siang itu menyisakan pertanyaan yang tak terjawab bagi Malva.
Malva waktu itu, belum bisa menyadari bahwa pertanyaan dan kejadian itulah merupakan tersingkapnya sedikit akan masa depannya, yang akan mengubah sebagian besar jejak-jejak hidupnya dengan cara yang membuat ia takjub atas kebesaran-Nya.
Dan, semua itu akan terjawab belasan tahun kemudian. Jauh di depan sana. Maka, selama itu pula kejadian siang itu menggores dan menyayat sangat tajam di relung kalbu Malva dengan sangat dalam. Selalu teringat, dan senantiasa teringat, seakan bayang-bayang yang selalu mengikuti di sepanjang portal-portal kehidupan dirinya.
Sayup-sayup terdengar adzan waktu Zhuhur dari masjid di tepi jalan masuk komplek.
***
Ajaib. Tapi, itulah yang dirasakan Malva.
"Pak, kalau sholat Jum'at itu apa saja yang musti dilakukan di masjid?" akhirnya Malva beranikan dirinya untuk bertanya. Bertanya kepada siapa lagi kalau bukan kepada Bapak.
"Ya masuk masjid, kamu musti sholat dua raka'at, lalu duduk dengarkan ceramah ustadz yang berdiri di depan, terus sholat bareng-bareng dua raka'at lagi, sudah begitu saja." Bapak berusaha menjelaskan sesederhana mungkin.
Akan tetapi janggalnya, Bapak tidak pernah mengajak Malva untuk sholat Jum'at ke masjid. Bahkan sholat yang setiap hari lima kalipun, Bapak tidak pernah memerintahkannya. Sholat yang tiap hari itu hanya mereka lakukan berjama'ah bersama-sama di rumah ketika bulan puasa Ramadhan, itupun hanya sholat Maghrib. Absurd!
Malva bingung, kata Bapak dia ini orang Islam, akan tetapi membaca huruf-huruf Arab saja tidak bisa. Terkadang lihat teman-temannya yang Islam fasih sekali membaca huruf-huruf Arab dalam kitab suci orang Islam, Al Qur'an, Malva jadi malu. Ia jengah ketika datang momen-momen yang terkait Islam, buta huruf Arab, bahkan tidak faham sama sekali pada agama sendiri.
"Bu, kalau sholat itu baca apa saja ya? Kok aku kalau sholat cuma gerak-gerak tok ikut gerakan Bapak saja," Malva selalu bertanya-tanya kepada Ibu, sosok yang lebih sering di rumah. Sedangkan, Bapak sering dinas ke kantor, bahkan sering ke proyek di pedalaman hutan propinsi Bengkulu. Sibuk.
Pertanyaan-pertanyaan tentang sholat, bacaan sholat, bacaan Al Qur'an, mengapa orang Islam musti sholat, berlanjut terus, semakin melesak mendesak dada Malva yang semakin menggelembung. Siap meletus dan meledak kapanpun waktunya.
Para pembaca pasti tercengang, "Apakah si Malva ini tidak diajari agama? Lha yang dipelajari di sekolah apa? Apakah tidak ada pelajaran agama Islam?"
Ya, tentu saja tidak belajar agama, karena Malva di Bengkulu disekolahkan oleh bapak-ibunya di sekolah SD, dan SMP C yang berorientasi pada agama Nasrani. Konon sekolah itu sekolah yang paling elit dan "bonafide" sekota Bengkulu. Ya, bagaimanalah ada pelajaran agama Islam?
Bahkan sebelum belajar di kelas dimulai dengan doa ala agama mereka, "Atas nama bapa dan putra dan roh kudus ..."
Sebagian guru-gurunya dan kepala sekolahnya adalah suster-suster biarawatinya orang-orang Nasrani.
Sanubari Malva selalu gelisah, resah dan bergolak. Mengapa ia dikumpulkan dengan orang-orang yang tak seagama?
Bahkan, Malva punya keluarga yaitu keluarga kakak Ibu yang mereka semua orang-orang Nasrani. Setiap liburan, ia sekeluarga sering liburan ke rumah mereka di Bandung. Apalagi jika liburan akhir tahun yaitu pada hari raya mereka, Natal dan Tahun Baru, bahkan mereka pernah mengajak Malva dan kakak-kakaknya ke gereja. Mereka ikut masuk ke dalam gereja, hanya duduk menonton mereka beribadah kepada tuhan-tuhan mereka. Astaghfirullah!
Mereka terkadang mendapat hadiah-hadiah yang menarik dari gereja, seperti dompet yang bagus, kartu-kartu Natal yang indah, dan sebagainya. Waktu itu Malva masih polos, lugu, dan belum tahu bahwa itu penggiringan perlahan-lahan agar mereka lama-kelamaan ikut agama mereka.
Hanya saja, Malva senang-senang saja mendapat hadiah-hadiah, namun untuk tergoda ikut agama mereka, Alhamdulillah, ternyata tidak.
Akhirnya semua itu hanya soal waktu saja akan meledak dari sanubari Malva, suatu saat ia beranikan menyampaikan uneg-unegnya, "Ibu, ajari aku bacaan sholat ..." Malva memohon dengan sangat kepada Ibu.
Ibunya terkesima.
***






Gabung dalam percakapan